Bangunan Candi Borobudur merupakan salah satu warisan sejarah dunia yang ada di Indonesia. Tak hanya megah, bangunan Candi Borobudur juga menyimpan fakta menarik untuk diulas, salah satunya dari sisi arsitekturnya.
Bangunan yang megah ini ternyata tidak dibangun menggunakan semen maupun putih telur. Sebelumnya, beredar dari cerita nenek moyang bahwa bangunan Candi Borobudur menggunakan putih telur sebagai perekat karena saat itu belum ada semen.
Namun hal itu terbantahkan karena bangunan Candi Borobudur menggunakan sistem interlock atau teknik penguncian. Jadi, bagian batu yang akan disusun susah dibentuk sedemikian rupa agar bisa disusun dengan teknik penguncian.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Menurut sejarawan-arkeolog-ilmuwan yang dimuat dalam buku Candi Indonesia: Seri Jawa yang ditulis Edi Sedyawati, Hasan Djafar dkk terbitan Kemdikbud (2013), Borobudur adalah pengecualian dibanding semua candi yang ditemukan di Jawa lainnya.
Di Jawa, untuk membangun candi, tanah lokasi candi dipadatkan dengan pasir dan batu kerikil, kerakal, dan sebagainya. Ada pula yang dibuat lewat semacam ruangan dalam tanah, diisi batu gundul, pecahan bata, pasir dan setelah dipadatkan, didirikan fondasi candi.
Sementara Candi Borobudur dibuat berbeda fondasinya. Candi didirikan langsung di atas bukit, yang dibentuk sesuai bentuk candi yang dikehendaki.
Fondasi bagian candi terluar dibuat masuk ke dalam tanah sedalam kurang lebih satu meter tertumpang di atas lapisan batu karang, sedangkan bangunan di atasnya tertumpang di atas beberapa lapis batu.
Para ilmuwan menilai teknologi yang dipakai dalam membangun Candi Borobudur luar biasa canggih dan maju pada zamannya. Candi ini dibangun tanpa diawali candi-candi lain yang dapat dianggap sebagai prototipenya, jadi tiba-tiba saja nenek moyang Nusantara dapat membangun Candi Borobudur yang demikian megah dan arsitekturnya unik. Bentuknya pun lain daripada yang lain, tidak dapat dibandingkan dengan candi-candi lainnya manapun juga.
4 Teknik Sambung Batu Candi Borobudur
Dari situs Kemdikbud dan buku Candi Indonesia: Seri Jawa yang ditulis Edi Sedyawati, Hasan Djafar dkk terbitan Kemdikbud, ada 4 teknik sambung batu pembangunan Candi Borobudur, bukan melekatkannya dengan putih telur ayam.
Candi Borobudur tersusun atas batuan andesit yang disusun dengan pola arah horizontal. Ukuran batu yang dipakai berkisar antara panjang 40-50 cm, lebar 30-40 cm, dan tinggi 20-25 cm.
Berikut teknik sambung batunya:
Tipe Ekor Burung
![]() |
Ditemukan pada hampir setiap batu dinding.
Tipe Takikan
![]() |
Teknik sambung batu ini dapat ditemukan pada kala, doorpel, relung dan gapura.
Tipe Alur dan Lidah
![]() |
Teknik sambung batu tipe alur lidah ini dapat ditemukan pada pagar langkan selasar dan batu ornamen makara di kanan-kiri tangga undag dan selasar.
Tipe Purus dan Lubang
![]() |
Teknik sambung batu tipe purus dan lubang ini dapat ditemukan pada batu antefil dan kemuncak pagar langgan.
Batu Andesit Penyusun Candi Borobudur
Batu penyusun Candi Borobudur menggunakan batu andesit, jenis batuan beku vulkanik yang umumnya ditemukan pada lingkungan subduksi tektonik di wilayah perbatasan lautan seperti di pantai barat Amerika Selatan atau daerah-daerah dengan aktivitas vulkanik yang tinggi seperti Indonesia.
Nama andesit berasal dari nama Pegunungan Andes yang berarti batuan keras.
Dari situs Kemdikbud, disebutkan batu candi yang berwarna gelap memiliki memiliki densitas yang lebih besar dibandingkan batu candi yang berwarna cerah karena kandungan kandungan ferro magnesium yang lebih tinggi. Selain itu, batu candi yang berwarna gelap mampu menyerap panas yang lebih besar dibandingkan dengan batu candi yang berwarna cerah.
Sementara itu, salah satu pemandu wisata Candi Borobudur, Prawiro, mengatakan perbedaan warna batu pada candi terjadi karena beberapa hal. Pada batu candi yang berwarna kekuningan hal itu terjadi karena pada saat penjajahan Belanda, Candi Borobudur diberikan pewarna agar saat difoto tampak bangunannya.
"Jadi dulu Belanda mau foto candi, tapi karena teknologi foto zaman dulu masih hitam putih, supaya hasil foto bagus dikasih oker, pewarna, dan pewarna itu sampai sekarang tidak bisa dihilangkan," tuturnyasaat menjelaskan alasan batu-batu Candi Borobudurmemiliki warna yang berbeda-beda beberapa waktu lalu.
Tak hanya itu, faktor cahaya matahari juga mempengaruhi kadar kelembaban batu pada Candi Borobudur. Jika batu-batu Candi Borobudursering terkena cahaya matahari, maka akan menjadi kering. Sebaliknya, apabila batu-batu Candi Borobudur jarang terkena cahaya matahari, maka batu akan lembap dan rentan ditumbuhi lumut.
"Faktor penyinaran juga berpengaruh. Faktor penyinaran matahari kan perbandingannya 2:1, maksudnya kalau yang (sisi) Timur sama yang Barat kan 8 bulan kena sinar matahari, kering kan? Tapi kalau yang Selatan cuma 4 bulan kena sinar matahari, kan kondisinya lembap," katanya.
Batu candi yang ditumbuhi lumut memiliki kepadatan yang lebih kecil dan porositas yang lebih besar jika dibandingkan batu candi yang tidak ditumbuhi lumut. Kandungan silika pada batu candi yang ditumbuhi lumut lebih rendah jika dibandingkan dengan yang tidak ditumbuhi lumut. Hal ini dikarenakan proses pelapukan yang terjadi menyebabkan berkurangnya kadar silika pada batu. Selain itu, kandungan kalium pada batu candi yang ditumbuhi lumut lebih tinggi jika dibandingkan dengan yang tidak ditumbuhi lumut karena kalium merupakan unsur yang sangat diperlukan untuk pertumbuhan lumut.
Pembagian Bangunan Candi Borobudur
Bangunan candi Borobudur dibedakan menjadi tiga bagian yakni Kamadhatu, Rupadhatu, dan Arupadhatu.
1. Kamadhatu adalah bagian tingkat pertama hingga tingkat ketiga dari candi Borobudur. Bagian Kamadhatu memiliki relief karmawibhangga yang menggambarkan hukum pada umat manusia.
2. Rupadhatu adalah bagian tingkat keempat hingga keenam candi yang memiliki relief Lalitavistara dan Jatakamala yang menggambarkan kisah hidup sang Buddha.
3. Arupadhatu atau bagian atap candi tingkat ketujuh hingga kesepuluh. Pada bagian ini tidak ada relief namun memiliki banyak stupa yang menggambarkan pencapaian sempurna umat manusia.
Candi Borobudur dalam Angka
- Candi berdenah bujur sangkar berukuran 123 meter x 123 meter
- Tinggi candi asli (dengan chattra atau bagian atas chaitya puncak): 42 meter
- Tinggi candi tanpa chattra: 31 meter
- Terdiri dari 10 tingkatan
- Jumlah total panel relief: 2.672 panel relief terdiri dari:
- 1.460 panel relief cerita
- 1.212 panel relief hias
- Jumlah arca total: 504 buah (tokoh yang diarcakan Dhyani Buddha, Manusi Buddha, dan Boddhisatva)
- Jumlah stupa: 73 buah
(abr/abr)