Cerita Awal David Van Reybrouck Tulis Buku Revolusi, Sisi Lain Sejarah Indonesia

Tia Agnes Astuti
|
detikPop
Penulis Revolusi David Van Reybourck saat peluncuran di Gramedia Jalma, Jakarta Selatan, Senin (3/11).
Penulis asal Belgia David Van Reybrouck saat ditemui redaksi detikcom di Gramedia Jalma, kawasan Blok M, Jakarta Selatan, pada Senin (3/11). Foto: Dok.Gramedia Pustaka Utama
Jakarta - Sejarawan asal Belgia, David Van Reybrouck menerbitkan buku Revolusi: Indonesia dan Lahirnya Dunia Modern di Gramedia Jalma, Blok M, kemarin. Buku yang memuat sisi lain sejarah Indonesia menurut riset dan penulisan dengan pendekatan jurnalistiknya menghasilkan tulisan setebal 730 halaman.

Bukunya awalnya terbit dari bahasa Belanda, lalu diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris. Pada 2010, David Van Reybrouck merilis Congo: The Epic History of a People yang berhasil memenangkan 20 penghargaan dan diterjemahkan ke banyak bahasa.

Saat awal merilis buku Congo, pujian datang kepadanya sampai ada satu orang Indonesia yang menghampirinya.

"Saya membuat konferensi pertama di Belgia lalu di Belanda, dan setiap kali di akhir acara seseorang akan berkata, 'Terima kasih untuk buku yang luar biasa ini. Seseorang harus menulis buku serupa tentang masa lalu kolonial kita'. Saya bilang itu ide yang sangat bagus, saya akan mendorong rekan-rekan penulis saya, para penulis Belanda," ungkapnya saat diwawancarai terbatas termasuk dengan redaksi detikpop sebelum launching pada Senin (4/11).

Tapi banyak rekan penulisnya merasa, menulis sejarah kolonialisme Indonesia terlalu sensitif dan rumit. Suatu hari, David Van Reybrouck mewawancarai satu orang narasumber yang sudah tua dan sedikit sakit.

Penulis Revolusi David Van Reybourck saat peluncuran di Gramedia Jalma, Jakarta Selatan, Senin (3/11).Penulis Revolusi David Van Reybourck saat diwawancarai sebelum peluncuran di Gramedia Jalma, Jakarta Selatan, Senin (3/11). Foto: Dok.Gramedia Pustaka Utama

"Saya belum memutuskan untuk menulis buku itu, tapi saya pikir seenggaknya harus mewawancarai orang tapi kamu tahu bagaimana kelanjutannya. Kamu melakukan satu wawancara, dua wawancara, dan sebelum kamu menyadarinya, 200 wawancara," sambungnya.

Meskipun lahir dan tinggal di Belgia, selama ini ia banyak menghabiskan waktu di Belanda. David Van Reybrouck mengambil gelar PhD di Universitas Leiden, Belanda, dan tinggal di sana bertahun-tahun lamanya.

Ia sudah familiar mendengar nama dan cerita tentang Multatuli, Borobudur, peristiwa Agresi Militer Belanda, dan segala peristiwa lainnya. Selama 6 tahun, ia meriset dari Indonesia, Jepang, Nepal sampai ke Belanda dan menulis buku Revolusi secara mendalam, namun menurutnya ia merasa seperti 'Indonesia yang memilihnya untuk menulis'.

"Bukan saya yang memilih buku, tapi buku yang memilih saya. Begitulah cara kerjanya, dan juga saya mulai menyadari (buku ini) bukan hanya penting bagi orang Belanda, tapi juga bagi orang Indonesia," katanya.

Buku Revolusi, lanjut dia, bukan sekadar sejarah nasional namun sejarah global. Indonesia memainkan peran yang penting namun banyak yang gak tahu.

Penulis Revolusi David Van Reybourck saat peluncuran di Gramedia Jalma, Jakarta Selatan, Senin (3/11).Penulis Revolusi David Van Reybourck saat peluncuran di Gramedia Jalma, Jakarta Selatan, Senin (3/11). Foto: Dok.Gramedia Pustaka Utama

"Saya pikir, itu argumen bagus lainnya untuk menulis buku. Dunia harus tahu tentang apa yang dilakukan Indonesia, itulah sebabnya saya menulis buku Revolusi," ungkap David.

Buku Revolusi ditulis dengan kata ganti orang pertama atau 'saya' dengan peristiwa pertama 14 Januari 2006 saat David Van Reybrouck berjumpa dengan Jeanne yang jadi penerjemahnya saat awal meriset. Ia menuliskannya dengan bahasa ringan, sederhana, mudah dipahami pembaca, dan alur yang runut. Ia menuliskan peristiwa pemboman pada 2006 adalah yang pertama kalinya sepanjang 7 tahun terakhir.

Layaknya sebuah fiksi dan buku perjalanan, ia menuliskannya dengan deskriptif dan naratif. Eling-eling menggurui, namun David Van Reybrouck seakan ngajak pembaca Indonesia buat mencermati sejarah kelam bangsa yang terlupakan dan tidak tercatat dalam buku pelajaran sejarah di sekolah. Di dalamnya ada metafora 'deck' yang dipakainya seperti berada di sebuah kapal laut buat memerangi kolonialisme itu sendiri.

Nama David Van Reybrouck juga menulis Against Elections yang memicu percobaan demokrasi partisipatoris di Belanda, Belgia, Spanyol, dan banyak tempat lainnya. Tak hanya menulis sejarah, ia juga menulis naskah drama Mission dan Para yang telah dipentaskan di berbagai penjuru Eropa, dan novelnya, Zinc, memenangi European Book Prize 2017.

Penasaran seperti apa proses riset mendalam demi menulis buku Revolusi? Simak artikel berikutnya hanya di detikcom.


(tia/pus)


TAGS


BERITA TERKAIT

Selengkapnya


BERITA DETIKCOM LAINNYA


Belum ada komentar.
Jadilah yang pertama berkomentar di sini

TRENDING NOW

SHOW MORE

PHOTO

VIDEO