Begini Alur Royalti dari Kafe sampai ke Musisi

Kamu sih tinggal nikmatin kopi dan musiknya aja dengan santai. Tapi di balik itu ternyata ada proses panjang biar lagu-lagu atau ambience sound itu legal diputar.
detikpop kemarin ngobrol sama Robert Mulyarahadja, Head of Corporate Communications & Membership WAMI, salah satu Lembaga Manajemen Kolektif (LMK). Dia cerita, "Semua mulai dari database, nih. Kita punya daftar kafe, restoran, dan tempat lain yang muter musik."
Nah, dari daftar itu, mereka kirim surat ke pemilik usaha. Isinya sih langsung ke inti, kayak "Hei, tempat usaha kamu pakai musik, yuk bayar lisensi."
Kalau pemilik kafe nyaut, barulah ngobrol lebih lanjut. Ngobrol yang diklaimnya itu lumayan penting loh. Jadi lumayan lah, gak kayak ormas sebelah.
Hitung-hitungan dimulai
Untuk kafe, biaya lisensinya dihitung dari jumlah kursi. Jadi si pemilik mesti isi formulir, kursinya berapa, totalnya sekian, dari situ keluar angka royaltinya.
Tapi duitnya gak langsung ke WAMI. Semua harus masuk dulu ke rekening resmi LMKN, Lembaga Manajemen Kolektif Nasional yang jadi payung dari 15 LMK di Indonesia.
LMKN yang nantinya bagi-bagi ke LMK sesuai penggunaannya, dan LMK yang terusin ke para pencipta lagu. Kalau ada yang nagih dan minta transfer ke rekening selain LMKN? Robert bilang, "Itu udah pasti fiktif, jangan dibayar."
Tahu lagu apa aja yang diputar?
Idealnya, pemilik usaha kasih song list, lagu apa saja yang diputar setahun penuh. Masalahnya, siapa sih yang nyatet satu-satu lagu di kafe? Jadilah LMK jarang dapat data itu.
Akhirnya mereka pakai cara proxy, alias perkiraan ilmiah. Caranya gabungin data lagu yang paling trending di YouTube, Spotify, dan sumber lain, buat nebak kira-kira lagu apa yang sering diputar di kafe.
Memang gak 100% akurat, tapi setidaknya mendekati. Ilmiah loh!
Kabar baiknya, LMKN lagi nyiapin teknologi yang bisa otomatis deteksi lagu di kafe. Jadi nanti, begitu lagu diputar, alat ini langsung catat judul dan penciptanya. Kalau itu berhasil, pembagian royalti bakal jauh lebih tepat.
Teknologi itu gak murah, bro...
Robert sempat menyebut, LMKN lagi nyiapin alat yang bisa otomatis mendeteksi musik di ruang publik. Kedengarannya keren, kan? Tinggal pasang, semua lagu langsung tercatat, royalti dibagi akurat.
Tapi, di balik ide cemerlang itu, ada satu masalah besar, duit. detikpop juga ngobrol dengan Yessi Kurniawan, Komisaris LMKN.
"Kami mau teknologi menjangkau seluruh wilayah Indonesia. Tapi harganya gak murah. Kalau ada yang tanya, 'Kenapa sih belum ada teknologi itu?', ya karena biayanya tinggi banget.
"Kalau nanti jumlah royalti yang terkumpul sudah lebih besar, dan biaya teknologinya ketutup, nah... di situ baru kita bisa hadir dengan sistem yang lebih canggih," katanya.
Percakapan ini mengalir ke Bernard Nainggolan, Komisaris LMKN lainnya. Nada suaranya tegas tapi hangat.
"Bikin sistem seperti itu mahal, dan kalau kita potong dari royalti yang ada sekarang, musisi malah gak kebagian. Ingat, anggaran operasional kita maksimal 20%. Dengan porsi itu, mustahil beli teknologi secanggih ini. Kecuali ada kebaikan hati pemerintah," katanya.
"Kalau negara mau turun tangan, menganggarkan biaya ini, kita akan sangat bersyukur. Soalnya kita tahu, begitu teknologi ini ada, royalti yang terkumpul bisa naik beberapa ratus persen."
Mimpi musisi butuh modal besar
Kamu bisa membayangkan skenarionya, kan. Jadi satu alat kecil dipakai di pojok kafe, bekerja diam-diam mencatat setiap lagu, dari Coldplay sampai Dewa 19.
Data itu langsung masuk ke sistem nasional, dan para musisi mendapat bayaran sesuai penggunaan sebenarnya. Kedengarannya seperti masa depan yang cerah.
Meski untuk sekarang, sistem itu masih jadi mimpi yang menunggu modal besar dan campur tangan negara. Mimpi para musisi untuk mendapatkan haknya pun lagi-lagi terbentur, terbentur dan terbentur.
(nu2/pig)