Round-Up
Mau Denger Musik? Bayar, Bayar, Bayar!

Peraturan yang sudah lama jadi polemik yakni soal royalti, kini gak cuma bikin bingung para musisi aja. Mulai dari pengusaha kafe, hotel sampai orang yang mau nikah juga ikutan dibikin pusing! Pasangan yang udah sulit ngumpulin duit buat resepsi, gak cuma bayar gedung dan WO aja tapi juga sisihin buat pemerintah.
Beberapa hari lalu pihak Wahana Musik Indonesia (WAMI) bilang pemutaran lagu di acara pernikahan wajib bayar royalti. Sampai ada loh nominal persennya dan cara pembayarannya.
"Ketika ada musik yang digunakan di ruang publik, maka ada hak pencipta yang harus dibayarkan. Prinsipnya seperti itu," ujar Robert Mulyarahardja selaku Head of Corcomm WAMI, saat dihubungi detikcom.
"Pembayaran ini kemudian disalurkan LMKN kepada LMK-LMK (Lembaga Manajemen Kolektif) yang berada di bawah naungan LMKN, dan kemudian LMK menyalurkan royalti tersebut kepada komposer yang bersangkutan," sambung Robert.
Nah, dari informasi ini publik langsung khawatir nih. Bahkan beberapa vendor hiburan pernikahan harus menelan rasa pahit karena kliennya batal pakai jasa mereka.
Jadi bikin rugi kan?
Berbanding terbalik dengan WAMI, Wakil Menteri Koordinator Hukum, HAM, Imigrasi dan Pemasyarakatan Otto Hasibuan bilang, soal pemutaran lagu di acara pernikahan bisa dikenakan royalti itu gak benar.
"Itu pernyataan yang tidak tepat ya, karena Undang-Undang Hak Cipta itu, LMK (Lembaga Manajemen Kolektif) itu hanya bisa menagih terhadap royalti suatu lagu apabila acara itu dilakukan dengan tujuan dan kepentingan komersial, itu ukurannya di situ," kata Otto saat dihubungi detikcom.
"Jadi kalo ada orang pernikahan, hajatan, ya lagu siapapun bisa dinyanyikan sepanjang itu tidak komersial," tambahnya.
Karena pernikahan itu tidak ada tindakan jual beli atau bersifat komersial, jadi harusnya gak ada tambahan biaya royalti ya, otomatis gratis kan WAMI?
Keluhan lain juga datang dari Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI). Mereka ngerasa kalau tarif royalti itu variatif banget sehingga bisa jadi potensi masalah.
"Yang jadi catatan kami adalah tarif. Tarif ini tentunya sangat bervariasi dan lebar persepsi orang. Sisi tarif ini jadi masalah," kata Haryadi B Sukamdani saat jumpa pers di kawasan Sudirman, Jakarta Pusat, Rabu (13/8/2025).
Yang selama ini beredar adalah tarif untuk usaha resto dan kafe dihitung Rp 120 ribu per kursi untuk satu tahun.
Nilai itu pada akhirnya membuat para pengusaha skeptis nih, tarif tersebut apakah sudah mencangkup seluruh pengguna musik yang dalam hal ini mal, karaoke, resto dan kafe?
Gak cuma itu, mereka juga gak suka dengan cara pemungutan royalti yang selama ini dilakukan LMKN atau LMK. Haryadi pun gak segan buat bilang penarikannya seperti berhadapan dengan preman.
"Memang gaya preman. Mereka LMK ataupun LMKN itu menarik mundur, tagihannya itu ditarik mundur sejak UU Hak Cipta berlaku. Padahal namanya kontrak itu kan harus ada invoice, perjanjian berlaku, itu tidak ada," ujar Haryadi dengan tegas.
(ass/tia)