Nuansa Hening di Mal Efek Bising Royalti Musik

Pingkan Anggraini
|
detikPop
Ilustrasi musik/lagu.
Ilustrasi musik Foto: Getty Images/staticnak1983
Jakarta - Beberapa minggu terakhir, suasana di banyak pusat perbelanjaan berubah. Speaker yang biasanya memutar lagu pop kekinian atau musik instrumental sekarang diam seribu bahasa. Bukan karena teknisinya lupa colok kabel, tapi karena satu isu yang bikin pelaku usaha waspada, royalti musik.

Pemicunya adalah kasus yang menyeret bos waralaba Mie Gacoan di Bali. Dia harus membayar royalti sekitar Rp2 miliar karena memutar musik di gerainya. Angka itu bikin banyak pengusaha langsung mikir ulang, apakah memutar musik di tempat usaha sepadan dengan risiko hukum dan biayanya?

Instruksi Hening dari HIPPINDO

Salah satu respons terbesar datang dari Himpunan Peritel dan Penyewa Pusat Perbelanjaan Indonesia (HIPPINDO). Ketua Umum HIPPINDO, Budiharjo Iduansjah, bilang kalau sekarang seluruh anggotanya diminta mematikan musik di gerai.

"Kami sekarang menginstruksikan tidak memutar musik. Sebenarnya itu instruksi kami," kata Budi, usai acara soft launching Jakarta International Investment, Trade, Tourism and SME Expo (JITEX) 2025 di Balai Kota Jakarta, Selasa (12/8/2025).

Budi menjelaskan, mereka sebenarnya mau bayar royalti. Bahkan, sejak tahun lalu sudah mengirim surat ke Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN) untuk negosiasi tarif. Tapi harga yang mereka tawarkan ditolak.

"Kami mau membayar, cuma kalau harganya tidak masuk, ya tidak mungkin kami paksa bayar," tegasnya.

Selain itu, Budi juga protes soal kewajiban membayar royalti untuk jingle buatan sendiri. Katanya, semua proses produksi jingle sudah dibayar lunas, penyanyi, pencipta lagu, dan hak cipta. Tapi tetap saja diminta bayar lagi.

Efek Domino di Lapangan

Instruksi hening ini langsung terasa. Di salah satu mal besar di Jakarta Pusat, suasana yang biasanya diwarnai musik jadi digantikan suara langkah kaki dan obrolan pengunjung. Beberapa restoran pun ikut senyap, menciptakan atmosfer yang terasa aneh.

Tapi gak semua mengikuti tren ini. Beberapa brand memilih jalan sendiri. Di aparel olahraga, misalnya, tetap memutar hip hop internasional di tokonya. Gramedia pun konsisten dengan playlist slow yang menenangkan, seakan menjadi oasis di tengah sunyi pusat belanja.

Masalahnya Bukan Musik, Tapi Harga dan Aturan

Di balik semua ini, masalah utamanya bukan apakah pelaku usaha mau bayar royalti atau enggak, tapi bagaimana tarifnya ditentukan dan apakah ada ruang untuk negosiasi. Budi menilai, kalau harga terlalu tinggi dan gak dibicarakan bersama, wajar kalau banyak pihak memilih mematikan musik.

Sampai ada titik temu antara pelaku usaha dan LMKN, tampaknya pemandangan mal tanpa musik akan jadi hal biasa. Apakah kamu benar-benar akan terbiasa belanja dalam hening?


(nu2/pus)


TAGS


BERITA TERKAIT

Selengkapnya


BERITA DETIKCOM LAINNYA


Belum ada komentar.
Jadilah yang pertama berkomentar di sini

TRENDING NOW

SHOW MORE

PHOTO

VIDEO