Panas Royalti Musik: Mal Hening, Playlist Gramedia Nyaring

Kasus ini langsung bikin para pelaku usaha waspada dan gak sedikit yang memilih mematikan musik sama sekali demi aman. Tapi di tengah kegaduhan ini, ada suara lain yang datang dari kalangan pengelola mal.
Ketua Asosiasi Pengelola Pusat Belanja Indonesia (APPBI), Alphonzus Widjaja, bilang, mal justru termasuk yang paling tertib soal bayar royalti.
"Royalti musik di pusat perbelanjaan bukan hal baru. Kami bahkan pernah dapat penghargaan dari Pak Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly sebagai asosiasi teraktif membayar royalti," ujar Alphonzus saat ditemui di Kantor Kementerian Perdagangan, Jakarta, Rabu (6/8/2025).
Menurutnya, musik itu bagian penting untuk bikin pengunjung betah. Tapi, hak pencipta lagu juga harus dihormati. Dengan kata lain, mal memang siap bayar kalau itu bagian dari aturan main.
Beberapa waktu lalu, kita mampir ke salah satu mal di Jakarta Pusat yang biasanya penuh musik. Tapi kali ini hening. Gak ada lagu yang mengalun dari speaker, cuma suara ramai pengunjung dan langkah kaki di lantai.
Fenomena yang sama juga terasa di beberapa restoran. Bahkan di pusat perbelanjaan hits di Jakarta Pusat, musik hampir gak terdengar.
Tapi gak semua ikut-ikutan hening. Beberapa store justru jalan terus dengan playlist mereka. Salah satu merek aparel olahraga, misalnya, memutar lagu hip hop internasional seperti biasa. Gramedia, yang sudah identik dengan musik slow dan menenangkan, juga masih setia dengan musik khasnya.
Tapi intinya, membayar royalti untuk kamu yang punya usaha dan bersifat komersial, itu wajib ya guys. Semua itu juga demi kemajuan industri musik kita.
Jadi, bentuk layanan publik yang bersifat komersial tersebut diatur di dalam Pasal 3 ayat (2) PP 56/2021 antara lain seminar dan konferensi komersial, konser musik, bioskop, pameran dan basar, pertokoan, televisi, radio, hotel, karaoke, restoran, kafe, pub, bar, bistro, kelab malam, diskotek, dan sebagainya.
Nah, untuk pembayarannya juga beragam ya. Jangan lupa, untuk pembayaran ini dilakukan ke Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN).
1. Untuk restoran dan kafe, ketentuan royalti pencipta sebesar Rp60 ribu per kursi per tahun, dan royalti hak terkait sebesar Rp 60 ribu per kursi per tahun.
2. Untuk pub, bar, bistro, ketentuan royalti pencipta sebesar Rp180 ribu per m2 per tahun dan royalti hak terkait sebesar Rp180 ribu per m2 per tahun.
3. Untuk diskotek dan kelab malam, ketentuan royalti pencipta sebesar Rp 250 ribu per m2per tahun dan royalti hak terkait sebesar Rp180 ribu per m2 per tahun.
Pembayaran royalti ini dilakukan minimal 1 tahun sekali.
Pembayarannya juga bisa kamu lakukan dengan mengunjungi laman LMKN ya. Lalu menghubungi bagian lisensi LMKN atau Koordinator Pelaksana, Penghimpunan, dan Penarikan Royalti (KP3R) yang bersangkutan.
Kemudian kamu bisa isi formulir lisensi sesuai dengan kategori usaha. Kirimkan formulir lisensi yang sudah ditandatangani dan distempel perusahaan. Lampirkan nomor pokok wajib pajak (NPWP) perusahaan atau penanggung jawab (PIC).
Selanjutnya, tim lisensi akan melakukan verifikasi data dan mengkonfirmasi kepada pengguna bila ada data yang tidak sesuai. Data yang telah diverifikasi akan diproses untuk pembuatan faktur sementara (proforma invoice).
Pengguna kemudian diminta membayar royalti musik dan lagu sesuai dengan jumlah yang tertera pada proforma invoice. LMKN akan menerbitkan faktur asli beserta sertifikat lisensi. Dokumen-dokumen tersebut selanjutnya akan dikirimkan kepada pengguna yang bersangkutan.
Nah, yang belakangan viral, biaya royalti dibebankan langsung ke pengunjung. Jadi, seorang netizen mengunggah bukti pembayaran setelah makan di restoran. Di antara menu makanan, tertulis juga biaya royalti musik sebagai biaya tambahan. Waduh!
(pig/nu2)