Giliran WAMI Jabarin Cara Mengolek Royalti dari Public Space

Yup, ini cukup membuat para pengusaha ketar-ketir berpikir pembayaran royalti adalah sebuah hal yang 'sulit' untuk mereka lakukan. Padahal sebenarnya ini adalah sebuah kewajiban yang perlu dibayarkan.
Alhasil mereka kompak memilih untuk tak menggunakan lagu-lagu untuk meramaikan usahanya. Dan justru menjurus pada suara-suara alam seperti yang sedang ramai, penggunaan suara burung.
Jika ditarik lurus ke belakang, LMKN maupun Lembaga Manajemen Kolektif (LMK), sampai sekarang masih cukup kesulitan dalam penanganan mengolek royalti dari ribuan usaha atau public space.
Penasaran gak sih, cara mereka mengolek ini seperti apa?
"Jadi meng-collectnya adalah satu, kita punya database pengguna-pengguna musik dalam bentuk resto atau kafe. Nah berdasarkan database ini maka lisensi kami bergeraklah," ujar Robert Mulyarahadja, Head of Corporate Communications & Membership WAMI, salah satu LMK, kepada detikcom, Rabu (6/8/2025).
Nah hal pertama yang dilakukan Wahana Musik Indonesia (WAMI) dalam hal ini adalah, mengirimkan surat imbauan ke tempat-tempat usaha untuk taat membayarkan royalti langsung ke LMKN.
"Jadi nanti perlu ada form yang diisi menyatakan jumlah kursi yang di restorannya berapa. Maka dari itu perhitungan royaltinya sekian gitu kan. Setelah itu kemudian jumlah tersebut dibayarkan ke rekening resminya LMKN," lanjut Robert.
Nah cara mendeteksinya juga penuh pertanyaan. Bagaimana cara WAMI bisa mendeteksi adanya penggunaan hak cipta berupa lagu di sebuah layanan publik?
Sampai saat ini WAMI masih mencoba mencari cara paling baik untuk menjalankannya.
"Kalau realita yang di lapangan tentu kita tetap meminta song list dari si pemilik usaha. Artinya 'oke, bapak ibu dalam satu tahun penggunaan ini lagu apa saja sih yang digunakan?' Nanti memang realitanya, kalau bisa dibayangkan sebagai pengguna atau pemilik usaha resto atau kafe mungkin gak nyatetin dong lagunya, jadi sering kali ya kita tidak mendapatkan song list tersebut gitu. Maka satu yang kita lakukan adalah menggunakan proxy," papar Robert.
"Semacam estimasi ilmiah, yang sekiranya sedekat mungkin apa yang digunakan di kafe-kafe tersebut gitu. Proxy ini asalnya bisa datang dari beberapa penggunaan, misalnya berasal dari mungkin list penggunaan di DSP di YouTube misalkan. Kita lihat yang paling trending di YouTube misalkan, kemudian di kombinasi dengan data-data yang lain," lanjutnya.
Ya kenyataannya data itu memang belum sepenuhnya akurat. Namun selama ini WAMI selalu mencoba mencari cara seakurat mungkin dalam pengolektifannya.
(pig/wes)