Ariel NOAH: DDL Cuma Bikin Si Kaya Makin Kaya

Duduk bareng Ariel NOAH dan Armand Maulana, keduanya bicara lugas, terbuka tentang situasi terkini, serta mengapa mereka tetap memilih berdiri bersama VISI.
Armand membantah anggapan bahwa VISI menolak konsep Digital Direct Licensing (DDL). Yang mereka tolak adalah cara dan proses penetapan DDL yang menurut mereka cacat sejak awal.
"Kita bukan anti-DDL. Kita cuma bilang, kalau mau pakai DDL, ya bicara dulu sama promotor. Karena mereka yang bayar. Kalau ketinggian, ya kasihan juga," ungkap Armand kepada detikpop, Kamis (3/7/2025).
Meski DDL sering dikampanyekan sebagai bentuk keberpihakan pada pencipta lagu kecil atau musisi yang terpinggirkan, Ariel menyebut kenyataan di lapangan justru sebaliknya.
"Gue tuh mau ngasih tahu, hati-hati konsekuensinya nih. Apalagi selama ini kan kampanyenya memperjuangkan si lemah katanya. Pencipta lagu yang kurang dapet duit," ujar Ariel.
"Tapi di mata gue, siapa yang paling banyak dapet duit dari ini? Orang-orang pemula, kalau mereka manggung di pensi, mau nyanyi lagu apa? Ya lagu yang terkenal. Yang gak terkenal, malah makin gak dinyanyiin orang karena mahal. Gitu logikanya."
AKSI melalui Piyu, berencana merilis aplikasi DDL pada 2025. Tetapi mereka juga masih menunggu keputusan revisi Undang Undang Hak Cipta.
Jika dalam revisi itu banyak poin yang mendukung direct license, AKSI akan langsung merilis DDL.
Perihal bayaran royalti, AKSI pun lebih menyasar pada honor penyanyi yang melampaui di atas Rp 10 juta. Ketika terdapat pembayaran senilai lebih dari Rp 10 juta di DDL, mereka baru akan menghitung royalti komposernya.
"Kita mau yang profesional dulu, yang komersil profesional dulu. Yang memang mereka nyanyi pakai lagu karya orang, yang bayarannya, honornya udah Rp 10 juta ke atas, 100 juta, 200 juta gitu," tegas Piyu.
Menurut Ariel, skema DDL justru menutup akses bagi musisi baru untuk membawakan lagu-lagu tertentu karena biayanya jadi terlalu tinggi, padahal mereka butuh itu untuk menarik perhatian publik.
Dia yakin ekosistem musik Indonesia yang sekarang lagi subur bakal terganggu. Ditambah masalah lain yang belum selesai sampai hari ini adalah putusan hukum Ari Bias, kasus yang dijadikan landasan legal sistem royalti saat ini.
VISI menilai kasus Ari Bias adalah blunder besar dari AKSI. Sebab setelah itu, muncul gugatan atau somasi baru yang bikin pencipta lagu dan penyanyi makin meruncing.
Tapi di tengah berbagai perbedaan pendapat itu, VISI mengaku bisa jadi sejalan dengan AKSI terkait dengan sikap ke LMKN.
Menurut mereka, LMKN dinilai gak menunjukkan kontribusi maksimal, bahkan baru pasang badan ketika situasi sudah memanas.
"AKSI udah nyatakan mau gugat LMKM. Itu langkah bagus," kata Armand.
"Tapi secara legal, memang yang paling berhak menggugat ya AKSI, bukan kita."
Baca juga: AKSI Bakal Gugat LMKN, VISI Bagaimana? |
VISI sendiri memilih untuk berperan di jalur edukasi publik dan musisi, seperti menjelaskan soal lisensi lagu di kafe, pusat perbelanjaan, hingga kesadaran bahwa CD fisik cuma boleh diputar secara pribadi. Menurut mereka, masyarakat perlu tahu muter lagu di kafe itu bukan hal sepele.
VISI juga menekankan pentingnya audit independen terhadap sistem royalti dan LMKN. Menurut Armand, jika langkah-langkah seperti ini gak dilakukan, sistem akan terus berjalan kayak sekarang.
"Sebaiknya juga diaudit oleh pihak ketiga. Biar semua transparan," katanya.
Terkait keputusan hakim dalam kasus Agnez Mo yang jadi dasar legal DDL, VISI menganggap penting untuk mengevaluasi pengetahuan hakim dalam perkara hak cipta.
"Bukan menuduh, tapi wajar kalau Komisi Yudisial diminta cek. Kan ada ilmunya. Hak cipta itu bidang khusus," ujar Armand.
VISI juga menanggapi positif pernyataan DJKI yang menegaskan, penyelenggara pertunjukan adalah pihak yang wajib membayar royalti. Tapi mereka menyayangkan mengapa DJKI baru bersuara setelah konflik meluas.
(nu2/ass)