Membedah Proses Kreatif Visual Effect di Nightmares and Daydreams

Pada series kali ini, Joko Anwar nekat untuk menggarap series sci-fi supranatural pertama di Indonesia dengan judul Nightmares and Daydreams. Melalui series inilah Joko berusaha mendobrak sinema Indonesia dengan suguhan sci-fi diiringi production design yang terencana.
Masih bekerja sama dengan Jaisal Tanjung, series ini menyajikan sinematografi yang menakjubkan. Seperti dari filmografi sebelumnya, series ini punya visual yang menegangkan dengan penggunaan color mood khasnya juga dengan low light.
Keberhasilannya kali ini ditunjang dari berbagai rancangan production design nya yang mumpuni. Sebagaimana Joko dalam membuat film, sang kreator kembali menggunakan berbagai practical effect dalam menunjang visual effect yang berusaha diciptakan di seriesnya kali ini.
Joko Anwar sendiri mengungkap bahwa beberapa desain bangunan yang ada di seriesnya kali ini, benar dibangun secara nyata demi mendapatkan kesan realistis di visualnya.
![]() |
Mulai dari menara jam yang tinggi hingga rumah yang melayang, tim produksi dari series ini benar-benar membuat bangunan tersebut secara nyata baru disempurnakan melalui CGI.
"Karena kita mau bikin otentik, jadi kebanyakan practical effect," jelas Joko Anwar dalam Taste Maker Screening di Jakarta (10/6/2024)
Crafting building tak hanya dilakukan sebatas bangunan-bangunan raksasa saja. Beberapa detail juga dibangun oleh tim produksi untuk menciptakan nuansa yang hidup di visualnya dari hal-hal kecil yang ada dalam world building di set ceritanya.
Sang kreator mengaku set cerita seperti ruang perjamuan di finale episode dibuat dengan sebegitu megah dari lorong hingga ke ruang utamanya. Selain itu perkampungan nelayan juga memerlukan 14 truk untuk mengisi jalan di perkampungan agar dipenuhi oleh kerang-kerang.
Tak terbatas oleh art buildernya, bahkan teknis di film ini dibuat oleh sedemikian rupa untuk menciptakan kesan yang realis. Seperti di satu episode dimana cahaya dari lampu di setting sedemikian rupa agar menyerupai cahaya dari langit.
"Cahaya UFO di episode 'the other side,' itu lampu kita gantung tinggi banget. Kita bentuk seperti UFO," sebut Joko.
Barulah dari berbagai rancangan yang dijalankan pada proses syuting, CGI bergerak saat pasca produksinya untuk menyempurnakan beberapa capaian yang tidak bisa diraih dalam proses syutingnya.
![]() |
"Special effect yang CGI segala macam hanya untuk melengkapi ketidakmampuan kita secara manusia untuk menciptakan, itu baru kita bikin VFX," jelas Joko.
Berbagai makhluk-makhluk supranatural hingga setting latar di dunia Agartha dibuat dengan CGI. Bahkan dua makhluk yang ada di episode awalnya memakan waktu 2 tahun dalam proses pengerjaannya.
Walau akhirnya CGI dan beberapa visual effect yang ada di series ini terlihat kasar dan masih belum mumpuni, Joko patut diapresiasi atas keberaniannya dalam membawakan genre yang langka yang bahkan mungkin tak bisa diraih oleh beberapa sineas dalam negeri.
Keterbatasan dalam teknologi dan juga pengalaman sangat berpengaruh dalam proses penciptaan karya ini. Untuk series pengawal sci-fi di Indonesia, series ini terbilang cukup matang dan berani dengan menampilkan visual yang kompleks.
Alhasil sang kreator pun mampu mengimbangi keterbatasan CGI tersebut dengan memaksimalkan kemewahan dari sinematografi juga penggunaan berbagai practical effect untuk menutupi kelemahan di CGInya.
Dengan adanya series ini, visual dari sinema di Indonesia mampu naik ke level yang berbeda lagi. Pada akhirnya kekurangan visual di series ini mampu menjadi penyemangat dan pembelajaran bagi sineas lainnya yang kedepannya ingin berkutat dengan genre yang sama dalam produksi film atau series di Indonesia.
(ass/ass)