Cinema Talks
Hanung Bramantyo Dulu Gak Suka Film

Dalam rangka promo film terbarunya, Tuhan Izinkan Aku Berdosa, Hanung rela menunda jadwal cek darah demi berbincang-bincang dengan detikpop mengenai film yang dibintangi Aghniny Haque itu. Meski awalnya lemas, ia pun berubah menjadi bersemangat saat menceritakan soal proses produksinya.
Salah satunya adalah kunci dari kesuksesan film drama yang selalu diterapkan oleh sutradara berusia 48 tahun itu.
"Sebetulnya semua genre itu kuncinya adalah motif, harus punya motif. Saya pada saat melakukan direction ke si Andri sama ke si Aghni saya hadirkan motifnya. Sampai kemudian saya meminta dia untuk mengaji, ikut kajian. Itu agar supaya dia masuk di dalam pola pikir orang-orang kanan ya. Orang-orang yang memang pola pikirnya radikal gitu kan. Agar ketika dia itu marah dengan Tuhan motifnya jelas," ujarnya.
"Ketika motifnya clear dia pegang, maka itu akan ada drama, itu pasti. Motif itu kan keinginan, tapi ada hambatan, pasti ada celahnya," tambahnya.
Kami pun sempat membahas soal pengalaman perdananya mengenal film hingga akhirnya memutuskan terjun ke industri. Siapa sangka jika ternyata Hanung sempat tak suka dengan film. Baginya film hanyalah untuk orang-orang kaya saja dan tak bisa dinikmati semua kalangan.
"Jadi awalnya itu saya gak suka sama film. Buat saya film itu sebuah aktivitas kapital. Karena diputar di gedung bioskop, dan pada saat itu gedung bioskop tidak boleh nonton pakai sendal jepit, harus wangi kalangan atas lah. Jadi saya gak suka nonton. Apalagi waktu itu kan film Indonesia tuh kacau semua, isinya film seks gak ada seni seninya sama sekali. Terus sinetron isinya juga kayak gitu. Saya lebih menyukai seni murni (kayak) teater, performance art," ungkap Hanung.
![]() |
Adalah sosok Teguh Karya yang menjadi pengenal sisi berbeda dari dunia film dan membuatnya jatuh cinta pada seni tersebut. Awalnya ia diajak berkunjung ke teater Popular Teguh Karya. Ternyata ia sedang syuting film Mainan dari Gelas yang dirilis pada 1997.
Di sanalah ia mulai mengetahui jika film ternyata benar-benar kompleks di mana ada beragam hal yang perlu diperhatikan seperti set, kostum dan akting.
"Dari sana saya baru kemudian sadar bahwa ternyata film itu adalah art. Ada set yang betul-betul dibuat, ada kostum yang betul-betul dirancang dengan baik, ada akting yang betul-betul dilatih. Oh ternyata seni juga ya."
"Nah dari situ akhirnya kemudian saya memutuskan untuk belajar film, tapi di teater Popular. Saya gak mau di mana-mana. Saya ketemu Pak Teguh, saya bilang saya mau jadi sutradara di sini. Akhirnya saya magang di sana," papar Hanung.
Aktif di dunia seni peran sejak lebih dari dua dekade, tentunya ada momen kala ia merasa jenuh dengan rutinitas dan juga industrinya. Ia pun mengaku sempat merasakan hal tersebut karena selalu dituntut untuk menghasilkan (komersil) setelah sempat sukses dengan beberapa judul karya-karyanya.
"Film ini yang membuat saya bergairah bergairah kembali untuk bikin film (Tuhan Izinkan aku Berdosa). Apalagi ternyata banyak yang merespon. Kalau dulu film-film saya yang saya suka seperti Tanda Tanya (2011), Sang Pencerah (2010), terus kemudian Perempuan Berkalung Sorban (2009) itu kan film-film yang penontonnya gak banyak kan gitu kan. Sehingga ketika saya mau bikin film seperti itu kan jadi males, takut atau segala macam. Nah semoga ini gak ya. Semoga ini penontonnya banyak," pungkasnya.
(ass/dar)