Trap: Menangkap Pembunuh Sadis

Candra Aditya
|
detikPop

EDITORIAL RATING

3/5

AUDIENCE RATING

-
Trap
Cooper (Josh Hartnett) adalah seorang bapak yang baik. Ia mendengarkan anaknya berbicara, tahu kehidupan personal anaknya bahkan ia sampai rela menemani si anak, Riley (Ariel Donoghue), untuk menghadiri artis idolanya. Hubungan keduanya sangat erat. Cooper nyaman berada di dekat anaknya, Riley juga ingin terus dekat dengan anaknya.

Tapi kemudian M. Night Shyamalan, sutradara dan penulis film ini, langsung perlahan membuka lapis demi lapis siapa Cooper sebenarnya. Pembukaannya yang manis langsung sirna. Cooper memperhatikan security yang memasang CCTV dengan siaga. Ia memperhatikan kerumunan dengan mata elang. Sambil berjalan ia melihat semua akses keluar masuk.

Setelah Shyamalan dan sinematografer Sayombhu Mukdeeprom pamer kemampuan mereka merangkai gambar yang membuat penonton percaya bahwa ini konser Lady Raven (Saleka Night Shyamalan) beneran, barulah penonton mendapatkan informasi yang jelas: Cooper adalah The Butcher, pembunuh berantai yang hobi memutilasi korbannya. Dengan barikade polisi di luar venue dan keamanan yang ketat, Cooper harus memikirkan cara bagaimana keluar dari sana tanpa terendus polisi.

Nama Shyamalan mungkin tidak sementereng di awal kariernya ketika ia menghadirkan film-film macam The Sixth Sense, Unbreakable, Signs atau bahkan The Village. Tapi setidaknya ia masih mempunyai kemampuan yang mengagumkan dalam membuat premis. Siapa yang tidak tertarik menyaksikan Silence of the Lambs tapi di dalam konser bintang pop? Hanya Shyamalan yang bisa membuat premis ini dan mengeksekusinya.

Tapi sayangnya sebagai sebuah thriller, Trap tidak menawarkan tone yang jelas. Apakah ini serius? Apakah ini camp ala Malignant? Apakah ini agak bercanda seperti film-film heist buatan Soderbergh? Sepanjang film Shyamalan membingungkan saya. Untuk ukuran sebuah film thriller serius, ada banyak keputusan yang dilakukan oleh karakter utamanya yang membuat saya ingin tertawa. Ini belum termasuk dialog-dialognya yang terlalu lucu untuk terdengar serius.

Babak ketiganya benar-benar menggelikan. Di saat yang bersamaan sebagai sebuah film komedi, Trap terlalu serius. Kemampuan karakter utamanya yang menjurus ke arah supernatural (saking jagonya mengelabui semua orang) terlalu canggih untuk bisa ditertawakan.

Keputusan Shyamalan untuk mempekerjakan putrinya sebagai Lady Raven juga pada akhirnya menjadi bumerang terhadap filmnya sendiri. Sebagai seorang musisi, Saleka Night Shyamalan memang berhasil menghadirkan lagu-lagu pop yang sangat kekinian (bayangkan Olivia Rodrigo bertemu Billie Eilish dengan sedikit sentuhan Taylor Swift). Tapi sebagai aktor, Saleka belum mempunyai kemampuan yang cukupan untuk memainkan peran yang ternyata sangat berguna untuk kepentingan plot. Momen yang harusnya menjadi krusial dan genting jadi terasa seperti komedi.

Untungnya Josh Hartnett sebagai pemeran utama paham benar tanggung jawab yang diembannya. Sebagai mantan pemeran utama yang dulu jadi rebutan para produser besar, Hartnett membuktikan bahwa ia memang mempunyai kharisma yang dahsyat. Hal itu dibuktikan dalam Trap. Ia bisa menyampaikan semua dialog aneh dengan lancar. Tidak hanya itu, semua adegan ia berhasil tampilkan dengan meyakinkan bahkan dalam kondisi paling aneh sekalipun. Chemistry-nya dengan Ariel Donoghue juga sangat baik sehingga dinamika hubungan mereka terlihat jelas.

Dibandingkan dengan The Visit, film yang mengembalikan lagi nama Shyamalan setelah The Last Airbender dan After Earth yang porak poranda, Trap mungkin belum bisa menyamai ketegangannya. Tapi setidaknya film ini lebih memiliki pesona daripada Old. Dan sebagai hiburan iseng, Trap lumayan memberikan keseruan tersendiri meskipun akhirnya kehabisan gas.


TAGS


MOVIE LAINNYA

SHOW MORE