Cerita Pendek

Separuh Tomat dalam Kulkas

Neneng Fatimah
|
detikPop
ilustrasi cerpen
Ilustrasi: Edi Wahyono/detikcom
Jakarta - Begitu tersadar dari lelap, Uri mendapati tubuhnya meringkuk seperti angka sembilan. Matanya memicing mencari cahaya yang bisa menuntun raganya bangkit dari ranjang. Pandangannya beradu dengan gelas berisi susu basi di atas meja. Ada rasa sesal mengapa terbangun di kamar, bukan terkurung dalam peti mati. Maka alih-alih berdoa minta berkat dan perlindungan, Uri memohon supaya ajalnya disegerakan.

Menyeduh kopi encer tanpa gula dan berdiam di balkon sambil memantau warna langit adalah rutinitasnya setiap pagi. Jika biru terang, dia melengos. Jika abu kehitaman, hatinya melonjak senang. Agar lebih yakin Uri mengecek prakiraan cuaca melalui ponselnya, dan itu dilakukan berpuluh kali dalam sehari. Dia amat terobsesi dengan ramalan cuaca. Mungkin karena itu adalah satu-satunya ramalan yang jarang berdusta dan bisa diandalkan. Rasa akan adanya kepastian menjadi candu yang menenangkan.

"Satu-satunya yang pasti adalah ketidakpastian." Uri terkekeh geli. "Lebih basi dari susu basi."

Perutnya terasa bergetar saat kafein menyiram lambungnya. Namun ternyata getaran itu berasal dari ponsel miliknya yang tersimpan dalam saku piyama. Satu pesan masuk. Selamat pagi, Cantik. Dikantongi kembali ponselnya sambil tersenyum sinis. Selang tak lama pesan lanjutan menyusul. Posisimu masih kosong. Kembalilah.

Uri tertawa. "Tua bangka sialan."

Pak Nam kerepotan bekerja sendirian tapi ia kularang mencari pengganti dirimu. Akan kutransfer sebanyak gajimu setiap bulan dariku pribadi kalau kamu kembali. Begitulah isi pesan ketiga yang diterimanya pagi ini. Uri mematung. Bola matanya berputar liar mencari jawaban yang entah berada di sudut mana.

***

Pada suatu hari yang berkabut oleh awan polusi, Uri bergegas memencet tombol lift yang mengangkutnya ke lantai 29 sebuah gedung di kawasan Senayan. Satu unit apartemen mewah menyambutnya setiba di atas. Seorang lelaki awal paruh baya membuka pintu dan mempersilakan masuk seolah sudah resah menunggu lama. Lengannya membimbing pundak Uri menuju ruangan luas yang dikelilingi deretan sofa gemuk. Terdengar alunan Dust in the Wind, menciptakan atmosfer retro nan rileks. Mereka duduk dengan jarak yang kentara. Canggung, Uri merapikan ujung roknya yang keriting.

"Minuman spesial untuk perempuan spesial." Tuan rumah menuangkan red wine jenis Pauillac ke dalam dua bordeaux glass yang bersisian di atas meja marmer. "Duduklah di samping saya."

"Terima kasih, Pak. Oh iya, ada keperluan apa Bapak memanggil saya ke sini? Apakah terkait pekerjaan? Apa saya melakukan kesalahan?" tanya Uri setelah bergeser mendekat.

"Jangan tergesa begitu. Minum dulu."

Uri meneguk minumannya sedikit. Sangat sedikit sampai-sampai tak setetes pun meluncur ke tenggorokannya.

"Tidak perlu terburu-buru, Uri. Setelah wine dituang, pertama, miringkan gelasnya 45 derajat untuk memastikan kejernihannya. Kemudian angkat gelas dan putar ringan untuk menciptakan reaksi dengan udara agar setiap lapis aromanya menguar. Itu kedua. Terakhir, barulah sesap perlahan, resapi apa yang lidahmu rasa, dan seberapa lama kamu merasakannya." Uri menyimak dengan saksama, menanti jawaban atas pertanyaan yang tadi diajukan.

"Tidak ada masalah. Semua oke. Saya cuma ingin menghabiskan sore denganmu," bisik lelaki yang merupakan direktur tempat Uri bekerja itu. Jarinya mengelus lutut Uri dan matanya berkedip nakal.

Seketika saraf-saraf Uri menjadi lumpuh saat lelaki itu merebahkannya di sofa, menindihnya, dan mulai mencumbunya. Namun akhirnya bagai tersengat listrik, Uri berontak
sekuat tenaga. Kakinya menyenggol gelas dan pecah terjatuh di lantai. Rasa takut mendorongnya berlari secepat kilat ke arah pintu keluar setelah menyambar tas dan sepatunya. Beruntung, yang dipakai hari itu bukan sepatu cantik berhak tinggi melainkan sepatu kerah biru yang menapak sempurna dan memudahkannya untuk kabur. Ada beberapa tetes darah mengalir dari telapak kakinya yang tak sengaja menginjak pecahan gelas.

Sebulan kemudian, Uri berhenti bekerja. Tanpa satu pun jaring pengaman terpasang. Semata karena harga diri yang terpelatuk.

***

Kau sehat, Uri? Mari bertemu nanti sore di tempat biasa. Pesan keempat kali ini datang dari sahabatnya. Uri mendesah bimbang. Bukan tak rindu, bukan tak sayang, tapi dia sungguh sedang tidak semangat berinteraksi dengan sesama karena tak punya kabar bahagia untuk dibagikan. Rasanya seperti diundang ke suatu perjamuan, disuruh memberi hadiah, namun urung diberikan sebab kotak kadonya kosong melompong. Sepanjang perjamuan bersikap pasif, sesekali menyahut, sesekali tertawa, lalu pulang tanpa pamit. Energi muramnya tak sejalan dengan energi pesta yang gegap gempita.

Uri memasang perangkat jemala pada kedua telinganya sebelum memilih acak satu drama Korea. Sayup terdengar orang bercakap. Emosinya meradang sebab dirinya tak bisa membedakan apakah suara-suara itu berasal dari dunia maya atau dunia nyata. Geram campur malas dia menuruni tangga dan mendapati adik dan ibunya sedang berbincang lalu pergi entah ke mana.

Uri tak berminat ikut campur. Sedikit pun tak ada hasrat untuk berbaur sebab sudah pasti yang mereka bicarakan bukanlah tentang dirinya. Terutama sang ibu yang mengajak bicara hanya jika ingin mengkritik atau menyuruhnya mengerjakan sesuatu. Sedangkan adiknya tipikal anggota keluarga yang tidak akan bersikap serius andai perut Uri kosong.

Sebagaimana umumnya anak laki-laki yang dibesarkan dengan penuh kemudahan dan minim kesukaran, dahulu ayah Uri rutin membayari tagihan kartu kredit adiknya tanpa banyak bertanya. Berbanding terbalik dengan hidup Uri yang pernah di titik paling rendah, terpaksa satu kali menjual tubuh karena sang ayah enggan meminjaminya uang. Padahal saat itu Uri tahu persis, belum lama ayahnya mentransfer uang kepada istri keduanya sebanyak delapan kali lipat dari yang diminta Uri. Sekarang dia memilih buta mengenai apa pun yang terjadi di rumah dan menetap di kediaman istri kedua. Uri ikut-ikutan buta. Buta atau melotot tak ada beda baginya.

Uri duduk di anak tangga ketiga dari bawah, memeluk lutut, memejamkan mata, mendengarkan bunyi syahdu tetesan air dari dispenser yang bocor, berima kompak dengan bunyi detak jam dinding dan detak jantungnya. Dalam imajinasinya ada bongkahan batu raksasa menggelinding dari puncak tangga, melindas gepeng dirinya, lalu mati. Teriakan cacing dalam perut merusak khayalan Uri. Sial, tak jadi mati. Malah lapar.

Dibukanya kulkas butut setua umur sang adik dan merupakan salah satu jejak kejayaan orangtuanya pada masa Orde Baru. Separuh tomat kisut menyambutnya dengan tidak ramah. Tersempil di antara deretan telur laksana pengkhianat yang disusupkan dengan tidak terampil. Uri membanting pintu kulkas dan mendengus bosan.

Kekurangan uang mengubah drastis sudut pandangnya terhadap segala hal. Selain lingkar pertemanan yang sudahlah kecil makin menyempit, juga membuatnya muak dan getir terutama setiap melihat teman-temannya pamer kebahagiaan di media sosial. Selera humornya makin gelap. Waktu pun berjalan seribu kali lebih lambat. Selama berdiam di rumah, Uri menggantungkan kestabilan mentalnya pada tumpukan buku fiksi, pada kesibukannya bereksperimen resep baru di dapur, atau menyusuri jalanan Jakarta mencari objek potret. Semua itu dilakukan seperti memunguti remah-remah roti untuk bertahan hidup.

Kini kesenangan-kesenangan receh itu tak mempan lagi menghalau kegelisahan jiwanya. Untuk mencicipi kesenangan yang besar-besar, selain kendala dana, Uri tak cukup bernyali karena takut dengan efek euforia yang biasanya menyakitkan. Bahkan tak sanggup menonton film sampai tamat karena cemas jalan ceritanya mengecewakan. Namun yang pasti, dalam kondisi begini Uri pantang berbaring di luar waktu tidur malam sebab berbaring hanya membuat jiwanya makin terpuruk.

Seperti sekarang ini, memilih duduk di tangga, turun ke dapur, dan kembali naik ke kamar untuk bercermin. Dicabutnya beberapa helai uban pendek yang tumbuh lantang mendeklarasikan penuaan dirinya. Kontras dengan wajahnya yang masih tampak belia.

Telepon rumah berdering nyaring. Nomor telepon berawalan angka (021) 825 sekian itu adalah fosil dari masa lampau yang masih berfungsi selain kulkas uzur tadi, sekaligus penghubung antara penghuni rumah dan neneknya di kampung.

"Assalamualaikum, Uri. Tolong ke sini, ya. Asam lambung nenek naik. Perut sakit."

"Iya, Nek. Besok pagi Uri ke sana."

Dialog singkat tanpa bertele-tele saking sudah menjadi rutinitas. Neneknya bisa menelepon hingga enam kali sehari. Hampir setiap hari. Bukan hal mudah menjalani masa tua yang sakit-sakitan, pelupa, kesepian, serta depresi akibat ulah ayah Uri berbini dua. Tidak mudah pula bagi Uri. Dialah yang menanggung segala kesakitan ibu dan neneknya. Kondisi anak-anak nenek yang lain tak lebih baik darinya. Maka sebagai cucu pertama, otomatis tampuk kekuasaan jatuh ke tangan Uri. Tentu sepaket dengan aneka masalah yang menyertai. Perasaan sepi kerap kali menggigit batinnya seakan dia saja seorang yang terlahir ke dunia ini. Celingak-celinguk sampai akhir hayat.

Uri menutup telepon sekaligus mencabut kabelnya. Gangguan pagi ini dirasa sudah cukup. Dia lelah berotasi pada hidup manusia lain. Roda hidupnya sendiri saja macam ban kempis. Uri melirik rak di sebelah telepon yang berisi replika berbagai jenis otomotif. Ingin rasanya bergabung ke sana dan menjalani hidup sebagai boneka pajangan. Dia sama sekali tak keberatan dikutuk jadi benda mati berdebu atau membatu seperti Malin Kundang. Yang penting tidak bernyawa.

"Aku sudah mati. Bernapas hanya formalitas biar tak dikubur," gumam Uri. "Sejujurnya tak mau mati. Hanya ingin tersenyum lega ketika pergi tidur, hanya ingin tersenyum antusias ketika bangun tidur. Itu saja."

Uri tak ingat kapan terakhir kali matanya menganak sungai. Terlalu lama depresi justru membuat dirinya terlatih. Durasi luapan emosi negatifnya makin singkat. Tidak lagi melempar barang dan sudah berhenti mengiris pergelangan tangan. Tapi diamnya makin banyak.

"Mestikah hidup ini adalah medan perang yang tak berkesudahan? Aku sudah pegal menghunus pedang. Ingin kuturunkan, kukemas, kusimpan di tempat yang tak masalah jika aku lupa di kemudian hari sebab tak akan kubutuhkan lagi."

Sebetulnya Uri tidak sebokek itu. Hidupnya cukup. Cukupnya untuk diri sendiri. Lebihnya untuk mencukupi yang kurang-kurang dari orang sekitarnya. Hanya saja argo kehidupan enggan berkompromi dengan isi rekeningnya yang makin hitung mundur. Terus melaju tiada ampun. Syukurnya dia tak punya utang kecuali utang budi terhadap seorang lelaki yang dipanggilnya dengan sebutan Om, yang dikenalnya karena kebetulan mereka berolahraga di gelanggang yang sama. Beliau inilah yang jadi perantara Uri dengan direktur yang telah memberinya pekerjaan dan juga mencoba memperkosanya itu.

Lagi-lagi Uri membuka kulkas tanpa tujuan pasti. Ruang es batu tidak menutup rapat, sesak oleh bunga es yang menggunung. Tak diacuhkannya soal itu. Ponselnya bergetar.

"Siapa lagi ini?"

Uri, kamu punya uang dingin? Tante harus membayar uang seragam si tengah. Terus, bayaran bulanan sekolah si sulung sudah menunggak dua bulan. Dan sekarang si bungsu sedang di rumah sakit. Jatuh dari sepeda. Kepalanya bocor.

Tak dibaca sampai selesai. Kalimat pertama sudah cukup untuk menyimpulkan ke mana arahnya. Selama sepuluh tahun sejak ditinggal mati sang suami, hidup tante Uri dan ketiga anaknya hanya bersambung dari satu napas hari ini ke satu napas lain hari besoknya. Tiba-tiba Uri merasakan aliran darahnya berpacu deras, menstarter otaknya, memantik nyala api di hatinya, juga di satu sisi mematikan sudut lain hatinya yang berperan sebagai penghakiman atas perkara serba amoral. Sambil bertumpu pada pintu kulkas yang masih terbuka, Uri menelepon lelaki yang beberapa saat lalu dia maki dengan sebutan tua bangka sialan.

"Baik, Pak. Ya, ya. Betul. Jangan Bapak yang menghubungi Pak Nam. Biar nanti saya sendiri yang mengabari beliau bahwa lusa saya kembali bekerja. Dan mohon maaf, uang yang Bapak janjikan tadi, bisakah ditransfer sekarang?"

Uri mencomot separuh tomat yang makin keriput dan melahapnya. Masam. Dimuntahkannya ke tempat sampah.




(mmu/mmu)


TAGS


BERITA TERKAIT

Selengkapnya


BERITA DETIKCOM LAINNYA


Belum ada komentar.
Jadilah yang pertama berkomentar di sini

TRENDING NOW

SHOW MORE

PHOTO

VIDEO