Cerita Pendek

Tata Silvester

Beatrix Polen Aran
|
detikPop
ilustrasi cerpen
Ilustrasi: Edi Wahyono/detikcom
Jakarta - Suasana hati di akhir bulan Mei sangat pilu. Akhir bulan Mei kali ini, kami sudah pasrah kepada lewotanah juga kepada pemerintah sebagai pengambil keputusan tertinggi.

Bagi kami, ijazah sarjana dan pengalaman mengabdi belasan tahun hanya sia-sia belaka apalagi janji pemerintah tempo itu untuk mengangkat pegawai honorer yang telah lama mengabdi menjadi seorang ASN.

Di saat itulah, kami menyadari bahwa menjadi petani kopra, petani mente, petani kemiri, petani kakao dan petani vanili jauh lebih berharga dan menjadikan seseorang kaya melebihi apa pun.

Tetapi, kami tahu, kami tidak bisa berbuat banyak selain berangan pada kenyataan yang sedang terjadi.

***

Tata Silvester duduk termenung di teras rumah ditemani segelas kopi hokeng dan sepiring jagung titi sambil membaca surat tanda terima kasih berakhirnya kontrak pegawai pada instansi tempat ia mengabdi di kabupatennya. Udara sejuk menyelusup, begitu mesra menerpa tubuhnya. Harapan yang tadinya menggebu-gebu menyekolahkan anak satu-satunya di sekolah favorit sirna tak berbekas.

Lama sesudah menelaah isi terdalam surat tanda terima kasih itu, ia lalu menyeruput segelas kopi hokeng dan sepiring jagung titi seakan tak mau beringsut dari teras rumah, ingin terus membaca isi surat tanda terima kasih itu barangkali pemerintah salah mengetik atau barangkali salah alamat. Setelah membaca, ia membolak-balikkan surat itu.

Ia tampak tak berdaya. Kalimat apa yang pantas diucapkan ketika istrinya bertanya tentang kontrak pekerjaan? Usianya sudah empat puluh delapan tahun dan dalam menghadapi situasi yang demikian rumit dan terlalu tiba-tiba, ia hilang akal. Ia tak ubah seonggok batu yang dibuang tukang bangunan bila tak dibutuhkan lagi.

Berbeda reaksi dengan Ama Ola, teman sekantornya, ketika membaca surat tanda terima kasih. Saat itu Ama Ola baru pulang dari pilih kemiri bulat di kebun yang letaknya persis di bawah kaki gunung. Maklum, pohon kemiri hanya bisa tumbuh di daerah-daerah subur dan jauh jaraknya dari permukiman warga.

"Ama, tolong baca surat ini," istrinya menyodorkan amplop surat lengkap dengan cap dinas di kulit luarnya.

"Semoga isinya tentang perpanjangan kontrak," ujar Ama Ola kepada istrinya.

Ia membuka surat itu penuh hati-hati.

"Ya, ya maaf, Ina," Ama Ola tak meneruskan kata-katanya karena memang ia tidak tahu apa yang mesti dikatakan kepada istrinya. Namun akhirnya ia berani membuka mulut dan berterus-terang kepada istrinya tentang isi surat tersebut.

Seketika, Ina Peni berlari ke kamarnya, segera terdengar jeritan tangis mengguguk.

"Ada apa, Ayah? Mengapa Ibu menangis?" tanya Tinus ingin tahu.

Ama Ola memeluk Tinus dengan perasaan sedih. Di mata Ama Ola, Tinus bagaikan permata hatinya. Ia bekerja tanpa kenal lelah agar Tinus bisa mewujudkan mimpinya menjadi seorang dokter hewan.

Selain pilih kemiri bulat dan dijual dengan harga satu kilo lima ribu rupiah, ia juga pengrajin anyaman berbahan dasar bambu. Bahkan, anyaman dikenal luas di dalam kabupaten sendiri dan dipasarkan di luar negeri dengan harga yang mencekik leher.

***

Sebulan sebelum resmi diberhentikan dari tenaga kontrak kabupaten, Tata Silvester dan kedua orang temannya meminta agar jadwal jaga malam menjadi tugas rutin mereka. Ya, sekadar cari uang rokok dan uang bensin. Begitulah hari-hari Tata Silvester dan dua orang temannya itu menyambung hidup. Sedangkan, beberapa teman yang lain telah memutuskan untuk berhenti bekerja di kantor dan memilih profesi lain.

Ada yang bekerja sebagai kuli bangunan, ada yang melamar menjadi tukang ojek, ada yang berbisnis dengan membuka kios kecil-kecilan. Ada yang menjadi petani dan hidup di kebun tak pernah menampakkan batang hidungnya di kampung karena malu. Bahkan ada yang memutuskan untuk pergi merantau ke Kalimantan, Jambi, dan Papua. Sedang, yang hidup di kebun terus merawat tanaman dan hasil alam yang melimpah ruah.

Malam itu udara sangat dingin. Tata Silvester memakai jaket kain yang baru dibelinya di pasar baru. Di langit kilat sambar-menyambar. Bintang-bintang meredupkan sinarnya. Dua orang temannya duduk mencangkung di kursi reyot yang terletak di sudut ruangan piket sambil tangan mereka mengutak-ngatik handphone.

"Kita tidak boleh menyerah jika bulan depan kita akan diberhentikan secara resmi oleh pemerintah," ungkap Tata Silvester menguatkan hati teman-temannya.

"Kita akan tetap menjadi penjaga piket sampai tugas ini juga turut diberhentikan secara resmi oleh pemerintah," Tata Silvester tersenyum sambil meluruskan pinggannya yang pegal.

Kedua temannya saling melemparkan pandangan ke arah Tata Silvester, tiba-tiba mereka bertiga tertawa terkekeh-kekeh. Hidup susah sudah biasa. Nasib tidak berpihak juga sudah biasa. Yang tidak biasa adalah sikap menyerah sebelum berperang.

Cepat-cepat ia melepaskan jaket yang menutup tubuhnya lalu memakaikan kepada seorang temannya.

"Dan yang lebih penting dari semuanya adalah kita tetap membina persaudaraan ini," tambah Tata Silvester.

Bola mata Tata Silvester kemerah-merahan pertanda ia telah mengantuk. Ia merebahkan tubuhnya di atas tumpukan koran yang terletak di bawah kaki meja.

Tata Silvester telah beralih profesi menjadi penjaga piket malam tanpa sepengetahuan istrinya. Di dalam benak istrinya, Tata Silvester adalah seorang pegawai tetap di kantor dengan mengantongi ijazah D3, yang jam kerjanya dimulai pukul 07.00 dan berakhir jam 15.00.

***

Seperti biasa Tata Silvester pergi setelah jam makan malam usai. Sedikit demi sedikit terbukalah persoalan sebenarnya yang terjadi pada pekerjaannya.

"Mengapa selalu keluar rumah setiap malam?" terdengar suara istrinya dari dapur.

"Ada tugas."

"Tugas apa? Sepenting itukah sehingga istri tidak boleh mengetahuinya?" kata istrinya yang saat itu sedang lanjut menggoreng ikan teri untuk makan keesokan harinya.

"Tuan Deo, apa yang sedang terjadi dengan suamiku? Atau ia sedang dililit persoalan yang sangat genting? Berikan petunjuk untuk hamba," doa sang istri dalam hatinya.

Dalam situasi seperti itu, biasanya Marianus, anak mereka satu-satunya, yang menjadi sasaran kemarahan mereka. Marianus yang berumur lima belas tahun itu tentu saja sangat bingung dan terpukul mentalnya.

Satu peristiwa yang membuat Marianus tidak akan lupa yakni saat ia meminta uang kepada ibunya untuk dikumpulkan di sekolah. Ibu malah memarahinya lalu menyuruhnya untuk meminta langsung kepada ayah.

"Minta uang terus. Ibu tidak punya uang. Akhir-akhir ini ayahmu tak memberikan ibu uang," kata ibu blak-blakan.

Tentu saja kalimat ibu membuat Marianus semakin patah semangat untuk pergi ke sekolah.

Entah sudah beberapa kali kalimat itu keluar dari mulut ibu.

Tata Silvester duduk terpekur mendengar pertanyaan demi pertanyaan yang keluar dari mulut istrinya. Malam ini, ia batal menjalankan tugas jaga malam bersama kedua orang temannya.

Ia akan berpikir keras untuk bagaimana caranya mendapatkan uang rokok, uang bensin, sekaligus uang untuk membeli beras dan memenuhi kebutuhan dalam keluarga.

Pukul 04.00 pagi. Tata Silvester mengambil karung serta parang dan berjalan menuju kebun kelapa miliknya. Ia memanjat kelapa dengan sekuat tenaga dan berhasil menurunkan dua ratus buah dalam sekejap.

Tiba-tiba, ia merasa lapar. Digalinya ubi kuning lalu dikumpulkan kayu bakar dan mulai membakarnya. Asap membubung tinggi. Setelah masak ia makan dan sambalnya adalah daging kelapa yang dibakar pada bara api setengah kering.

Kebiasaan ini semacam sudah mendarah-daging di ingatan anak lewotanah. Dan, minumnya adalah air kelapa muda.

***

Setelah bangun dari tidurnya, sang istri mencarinya. Ia menanyakan kepada para tetangganya, dan mama Ina menyampaikan bahwa ia melihat Tata Silvester pergi ke arah kebun membawa serta karung dan parang.

Sang istri mengikutinya. Sesampainya di kebun, ia tak menemukan suaminya, yang tampak di matanya hanyalah tumpukan kelapa.

Hatinya semakin gelisah. Pikirannya kalut.

Matahari tegak lurus di kepala. Ia berteriak.

"Tata Silvester. Suamiku tercinta. Pulanglah."

Tak terdengar apa-apa. Hanya embusan angin yang menggoyangkan dahan kelapa.

Kemudian setelah mendengar suara hiruk pikuk orang-orang berteriak, barulah ia menyadari bahwa ternyata Pak RT bersama beberapa Linmas mengikutinya.

Mata sang istri sudah penuh air, ketika Pak RT memegang pundaknya memberikan penguatan.

Beberapa Linmas dikerahkan mencari Tata Silvester. Segenap perasaan yang dimiliki sang istri muncul; kematian, kehilangan, kekecewaan, kesedihan. Dan, di atas semua perasaan itu, rasa ketergantungannya pada Tata Silvester, kecemasan akan kematian, pengharapan untuk senantiasa hidup.

Lolongan anjing sahut-bersahutan. Suasana mencekam. Pada sebuah pohon kelapa milik orang lain, tubuh Tata Silvester terbaring kaku, sedang di bagian kepalanya darah kental menggumpal.

Keterangan:

tata: sapaan akrab untuk kakak, dialek Nagi, Larantuka, Flores Timur, NTT
kopi hokeng: kopi yang dihasilkan dari lahan miliki orang-orang hokeng karena daerahnya sangat dingin
jagung titi: salah satu makanan khas orang Flores Timur
ama: sapaan khas masyarakat Lamaholot untuk laki-laki (Adonara)
Ina: sapaan khas Lamaholot untuk perempuan ( Adonara)
Tuan Deo: Tuhan Allah (dalam dialek Nagi-Larantuka)

Beatrix Polen Aran guru di ujung Flores bagian Timur, NTT; aktif di Teater Nara di Kabupaten Flores Timur




(mmu/mmu)


TAGS


BERITA TERKAIT

Selengkapnya


BERITA DETIKCOM LAINNYA


Belum ada komentar.
Jadilah yang pertama berkomentar di sini

TRENDING NOW

SHOW MORE

PHOTO

VIDEO