Suku Dayak Lun Dayeh yang tinggal di Pedalaman Krayan, Kabupaten Nunukan, Kalimantan Utara, punya kekayaan kuliner yang tak biasa. Ialah Kelatang, makanan yang berbahan utama serangga bernama latin Aegiale hesperiarisini.
Kelatang merupakan larva yang hidup di dalam batang kayu tropis tertentu. Kelatang menjadi simbol budaya, kearifan lokal, dan ketahanan masyarakat adat dalam hidup berdampingan dengan alam.
Melvari, warga Desa Liang Lunuk, Krayan Selatan, berbagi kisah tentang kelatang yang begitu istimewa bagi masyarakatnya. Konon, kelatang juga dikenal punya beragam khasiat.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Kelatang ini bukan cuma makanan, tapi cerita leluhur kami. Rasanya gurih, harum, dan penuh khasiat," ujarnya kepada detikKalimantan beberapa waktu lalu.
Kelatang hanya ditemukan di tiga jenis pohon khusus, di antaranya Kayu Uber, Kayu Lepanau, dan Kayu Pingit Luang.
"Tidak sembarang pohon, meski jenis kayunya sama. Kelatang hanya hidup di tempat tertentu, di tanah yang cocok, seumur hidupnya di situ," tambah Melvari.
Proses pencarian kelatang pun tak mudah. Warga setempat harus menjelajah hutan, membelah batang kayu dengan hati-hati untuk menemukan larva yang bersemayam di dalamnya.
Ketika dibelah, aroma khas kayu bercampur wangi kelatang langsung menggoda indera penciuman. Bagi mereka yang tak biasa, mungkin akan geli untuk menyentuhnya.
Kelatang yang berhasil dikumpulkan, kemudian diolah dengan cara sederhana. Kata Melvari, oleh penduduk setempat kelatang paling sering dimasak dengan cara direbus atau dimasak dalam bambu. Sehingga, memberikan tekstur lembut dan aroma yang semakin kuat dan rasa yang kaya.
"Bisa juga digoreng, disangrai, atau bahkan dimakan mentah sebagai sumber protein alami," ucapnya.
Kelatang memiliki dua empedu, sebuah ciri yang menurut Melvari membuatnya berbeda dari serangga lain. Warga Dayak Lun Dayeh percaya bahwa empedu kelatang inilah yang dapat memberi khasiat bagi beberapa keluhan kesehatan.
"Ini yang bikin Kelatang istimewa. Empedunya punya khasiat untuk kesehatan, seperti mengatasi gatal-gatal, benjolan, hingga luka," ungkapnya.
Meski belum teruji di laboratorium, klaim ini berdasarkan pengalaman turun-temurun masyarakat Lun Dayeh. Minyak Kelatang bahkan menjadi komoditas berharga, dijual seharga Rp 1 juta per botol kecil, atau sekitar 300 ringgit di pasar lokal.
Kelatang jadi salah satu hidangan yang disajikan dalam acara adat, perayaan, atau momen spesial. Namun, kelatang lambat laun semakin langka. Proses berburu kelatang yang sulit, membuat harganya cukup tinggi.
"Kalau seukuran batang rokok, harganya Rp 5-10 ribu per ekor," kata Melvari.
Kelatang bukan sekadar makanan, melainkan cerminan harmoni antara manusia dan alam di Krayan. Masyarakat Dayak Lun Dayeh memanfaatkan sumber daya hayati ini dengan bijak, hanya mengambil apa yang diperlukan tanpa merusak ekosistem.
"Alam sudah menyediakan segalanya. Kami hanya perlu menjaga dan menghormatinya," tutur Melvari.
(aau/aau)