Wali Kota Tarakan dr. Khairul menanggapi terkait hutan lindung Pulau Tarakan yang mulai berubah fungsi menjadi permukiman dan kebun warga. Ia menyebut permasalahan ini berkaitan dengan kewenangan.
Masalah ini sendiri muncul setelah plang penanda hutan lindung Tarakan yang berlokasi di RT 3 Kelurahan Karang Harapan ditemukan roboh, seolah mengaburkan status lahan tersebut sebagai hutan lindung. Warga setempat mengaku tak tahu-menahu tentang plang penanda yang roboh tersebut.
Pengakuan Warga Setempat
Pantauan tim detikKalimantan di lokasi pada Sabtu (13/12), kawasan yang secara administratif diklaim sebagai hutan lindung dan penyangga sumber air bersih Kota Tarakan ini tak lagi diisi pepohonan rapat. Area tersebut kini dipenuhi sejumlah bangunan rumah beton permanen.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Salah satu warga bernama Mukilan mengaku telah bermukim dan menggarap lahan di sana sejak tahun 2024. Ia sendiri mengaku bukan orang pertama yang menempati lahan tersebut. Ketua kelompok tani setempat itu hanya melanjutkan pengelolaan lahan dari penggarap sebelumnya.
Mengenai plang hutan lindung yang roboh dan sempat berpindah tempat di lokasi itu, Mukilan mengaku tidak tahu-menahu siapa pelakunya.
"Plang kawasan hutan lindung ini berada di area hutan yang mengarah ke Utara, soal robohnya paling itu kami tidak tau," ucapnya.
Siap Jika Pemerintah Ambil Alih
Mukilan aktif menanam berbagai komoditas seperti pepaya, seledri, hingga tebu. Dari hasil taninya, ia bisa meraup sekitar Rp 2 juta per bulan.
"Saya tahu lahan yang ditempati milik negara, tapi menurut saya, tindakan saya tidak menyalahi aturan. Kalau tidak salah tempat ini boleh ditempati, yang penting pohon jangan ditebangi, tapi tanahnya tidak boleh diambil. Ya statusnya hak pakai," jelasnya kepada detikKalimantan, Sabtu (13/12/2025).
Mukilan mengaku memang tidak memiliki surat kepemilikan tanah. Bahkan menurutnya seluruh warga di kawasan tersebut juga tidak memegang sertifikat resmi. Ia menyatakan siap jika sewaktu-waktu pemerintah mengambil alih lahan tersebut dan ia harus pergi.
"Tujuan saya bukan memiliki tanah ini, tapi memanfaatkannya biar berproduksi daripada menganggur. Kalau pemerintah mau menggunakan, ya siap angkat kaki. Saya hanya menumpang," tegasnya.
Penjelasan Dinas Ketahanan Pangan dan Pertanian
Mukilan merupakan petani binaan Dinas Ketahanan Pangan dan Pertanian (DPKP) Kota Tarakan. Kepala Bidang Pertanian DKPP Kota Tarakan, Nur Rahmi, membenarkan status Mukilan tersebut. Namun, ia menegaskan bahwa aktivitas Mukilan menggarap lahan di kawasan Hutan Lindung tersebut adalah inisiatif pribadi dan bukan atas perintah dinas.
"Benar, Mukilan terdaftar dalam Kelompok Tani. Mukilan petani kami. (Namun) kami tegaskan, itu (kegiatan di kawasan hutan lindung) bukan arahan dari Dinas Ketahanan Pangan dan Pertanian Kota Tarakan. Itu murni (inisiatif) pribadi beliau," jelasnya.
Dilema Pemkot Tegakkan Aturan
Wali Kota Tarakan dr. Khairul mengakui adanya dilema dalam penegakan aturan di lapangan terkait status hutan lindung. Namun, ia menegaskan bahwa Pemerintah Kota (Pemkot) Tarakan tidak memiliki kewenangan untuk menindak pelanggaran tersebut.
"Berdasarkan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, urusan kehutanan kini sepenuhnya menjadi ranah Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Pusat," bebernya kepada detikKalimantan, Sabtu (13/12/2025).
Karena itu, menurutnya yang berwenang mempertegas status lahan tersebut adalah Pemprov Kaltara. Khairul menegaskan Pemkot tidak bisa melangkahi kewenangan tersebut.
"Kami sendiri tidak bisa bertindak karena tidak punya kewenangan. Pokoknya kalau bunyinya 'hutan, hutan, hutan', berarti pengawasannya dari Dishut (Dinas Kehutanan) Kaltara," lanjutnya.
Solusi yang Ditawarkan Wali Kota
Menurut Khairul, diperlukan pembahasan segera bersama Pemprov dan pemerintah pusat, dalam hal ini Kementerian Kehutanan, untuk mencari solusi (win-win solution) atau penegakan hukum yang tegas atas status hutan lindung Tarakan.
Khairul juga menyoroti pembagian kewenangan yang menciptakan celah pengawasan yang serius. Jarak kendali yang terlalu jauh antara pemerintah provinsi/pusat dengan lokasi hutan di daerah membuat monitoring menjadi tidak efektif.
"Sementara dengan ada pengawasan Polhut (Polisi Kehutanan) di Kota Tarakan saja kita (dulu) setengah mati melakukan pengawasan hutan. Apalagi, mohon maaf, jika ditarik ke Provinsi dan ke Pusat, rentang kendalinya terlalu jauh," keluhnya.
Masalah semakin pelik ketika masyarakat sudah telanjur mendirikan bangunan permanen di kawasan lindung tersebut. Khairul menyebut situasi ini sebagai komplikasi sosial yang sulit diurai tanpa sinergi dengan pemprov dan kementerian.
"Di situlah komplikasinya. Satu sisi sudah ditempati masyarakat, sementara hal tersebut masih masuk dalam kawasan hutan lindung," pungkasnya.
Simak Video "Video: Menyusuri Hutan Lindung Siabu Riau yang Botak Akibat Perambahan"
[Gambas:Video 20detik]
(des/des)
