Budidaya rumput laut di Kota Tarakan, Kalimantan Utara, masih terbentur sejumlah kendala, terutama dalam pengolahan hilir.
Kepala Bidang Perikanan Budidaya, Pengolahan, dan Pemasaran Hasil Perikanan Dinas Perikanan Kota Tarakan, Ersan Dirgantara, mengungkapkan bahwa limbah kimia menjadi hambatan utama dalam pengembangan produk olahan rumput laut.
"Kami hanya kembangkan rumput laut jenis Eucheuma cottonii karena cocok dengan kondisi Tarakan. Tapi untuk hilirisasi, seperti pengolahan karagenan, terkendala limbah kimia," ujar Ersan kepada detikkalimantan, Senin (21/4/2025).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Di Tarakan, budidaya rumput laut terkonsentrasi di Pantai Amal hingga Tanjung Pasir dan Tanjung Batu, dengan harga jual bervariasi. Namun, produk rumput laut Tarakan masih diekspor dalam bentuk mentah (kering) karena ketiadaan fasilitas pengolahan.
"Di Pantai Amal, harga rumput laut kering Rp 8.000-9.000 per kilo, sedangkan di Tanjung Pasir dan Tanjung Batu mencapai Rp 12.500-13.000 per kilo karena kualitas dan tingkat kekeringan lebih baik," jelas Ersan.
"Di Makassar, ada pabrik pengolahan karagenan seperti ATC atau SRC. Di Tarakan, kami belum bisa karena limbah kimia dari proses pengolahan, seperti penggunaan KOH, sulit ditangani," tambahnya.
Biaya pengolahan limbah kimia dinilai terlalu tinggi, sementara pengiriman ke Jawa tidak ekonomis. Meski terkendala, Dinas Perikanan Tarakan tengah menjajaki hilirisasi melalui kerja sama dengan perusahaan yang mengolah air rumput laut untuk bahan baku popok organik dan biofuel.
"Produk ini diekspor ke Bali, lalu ke India. Kami lihat ini lebih menguntungkan petani," ungkap Ersan.
Untuk meningkatkan kualitas, Dinas Perikanan berencana menerapkan sistem pengeringan gantung, seperti yang sudah sukses di Sebatik. Proyek ini ditargetkan berjalan selama satu tahun dengan bantuan peralatan pengeringan.
"Di Tarakan, rumput laut masih dijemur langsung, jadi kualitas kalah. Tahun ini, kami siapkan pilot proyek di Pantai Amal untuk tiga kelompok petani dengan sistem gantung," katanya.
Petani juga kerap mengeluhkan rumput laut yang layu atau membusuk di laut. Namun, Ersan mengaku pihaknya kesulitan menangani karena kewenangan laut berada di tangan provinsi.
"Laut dari 0-12 mil kewenangan provinsi, sedangkan kami hanya berwenang di daratan. Petani kami orang Tarakan, tapi kami tidak bisa ambil sampel atau anggarkan penelitian penyakit karena bukan kewenangan kota," keluhnya.
Menanggapi keluhan petani yang mengaku tidak menerima bantuan, Ersan menegaskan bahwa bantuan disalurkan langsung ke kelompok, bukan perorangan atau melalui RT. Ersan mengimbau petani yang merasa belum tersentuh bantuan untuk bergabung dalam kelompok resmi.
"Tahun lalu, kami salurkan bantuan ke tujuh kelompok petani rumput laut di Pantai Amal, berupa bibit, tali bentangan, pelampung, dan terpal untuk penjemuran. Minimal satu kelompok 10 orang, lengkap dengan administrasi," pungkasnya.
(des/des)