Musim kemarau menjadi waktu bagi masyarakat pedalaman di Kalimantan Utara (Kaltara) untuk membakar lahan guna membuka ladang dan pertanian. Tradisi turun-temurun ini dilakukan untuk menyuburkan tanah, biasanya berlangsung pada Mei-Juni atau September-Oktober jika kemarau berkepanjangan.
Namun, Dinas Kehutanan (Dishut) Kaltara mengimbau masyarakat waspada agar pembakaran tidak memicu kebakaran hutan dan lahan (karhutla).
Kepala Bidang Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem (KSDAE) Dishut Kaltara Maryanto menyebut masyarakat di wilayah hulu sudah paham teknik dan waktu pembakaran yang aman. Meski begitu, ia mengingatkan masyarakat yang belum memahami kearifan lokal untuk berkoordinasi lintas sektor.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Masyarakat wajib melapor ke kepala desa atau Masyarakat Peduli Api (MPA) sebelum membakar lahan, agar tidak meluas dan asapnya tidak mengganggu daerah tetangga atau negara lain," tegasnya, Kamis (17/4/2025).
"Petani lokal sudah paham cara aman membakar ladang. Koordinasi lintas sektor harus ditingkatkan, dan jangan tinggalkan lahan yang sedang dibakar," imbuhnya.
Menurut Maryanto, pembakaran lahan untuk ketahanan pangan di bawah dua hektare masih ditoleransi berdasarkan Peraturan Gubernur Kaltara. Namun, pembakaran di luar ketentuan ini dilarang.
Untuk mencegah karhutla, Dishut gencar melakukan sosialisasi dan pembinaan MPA, termasuk penggunaan alat tradisional dalam pengendalian kebakaran. Dishut Kaltara memanfaatkan aplikasi Sipongi untuk mendeteksi hotspot sebagai upaya dini pencegahan karhutla.
"Hotspot yang menyala dua hari berturut-turut menandakan kebakaran. Tapi, pantulan sinar dari atap seng atau pembukaan lahan luas kadang terdeteksi sebagai hotspot," ujar Maryanto.
Pada 2024, kebakaran lahan di Kaltara mencapai 200 hektare. Luasnya melebihi kejadian pada 2023, tetapi masih kecil dibandingkan wilayah lain di Kalimantan. Penanganan cepat memastikan asap tidak mengganggu provinsi tetangga atau Malaysia.
Penanganan karhutla melibatkan berbagai pihak, seperti TNI, Polri, Dinas Lingkungan Hidup (DLH), dan Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) sebagai koordinator.
"Kami terus berupaya melengkapi sarana pemadam, meski anggaran masih terbatas," kata Maryanto.
Perusahaan di Kaltara juga diwajibkan memiliki sarana pemadam kebakaran, seperti tangki, selang, dan tim pengendalian kebakaran. Namun, Maryanto menyayangkan banyak perusahaan yang memiliki peralatan tetapi kurang pelatihan.
"Ini menjadi kendala saat kebakaran terjadi di lapangan," ungkapnya.
(des/des)