Keberadaan 15 Warga Negara Asing (WNA) asal China di Kecamatan Tumbang Titi, Kabupaten Ketapang, Kalimantan Barat (Kalbar) ternyata masih ada kaitannya dengan perusahaan pertambangan emas PT Sultan Rafli Mandiri (PT SRM). Mereka merupakan mantan pekerja PT STM manajemen lama.
Hal ini dibenarkan oleh Direktur Utama PT SRM Firman saat ditemui di Pontianak, usai membuat laporan penyerangan dan perusakan di Polda Kalbar, Selasa (16/12/2025).
"Keberadaan WNA yang dimaksud dalam peristiwa ini merupakan pihak-pihak yang disponsori oleh manajemen lama, sebelum terjadinya pengambilalihan dan restrukturisasi manajemen perusahaan," kata Firman.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Ia menegaskan, PT SRM saat ini telah mengalami perubahan struktur kepemilikan dan manajemen yang sah secara hukum, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku di Republik Indonesia.
Sehubungan dengan perubahan tersebut, manajemen baru PT SRM tidak pernah memberikan persetujuan, penugasan, maupun izin kepada Tenaga Kerja Asing (TKA) untuk bekerja atau melakukan aktivitas operasional di lingkungan perusahaan. Termasuk untuk 15 WN China tersebut.
"Maka, patut kita sebut 15 WN China penyerang TNI dan perusak aset ini adalah mantan pekerja PT SRM manajemen lama," kata Firman.
Sebagai bentuk kepatuhan terhadap hukum dan itikad baik perusahaan, manajemen baru PT SRM telah secara resmi menyampaikan surat kepada Kantor Imigrasi Ketapang pada bulan Oktober 2025 untuk terhadap WN China yang bersangkutan.
"Kebijakan perusahaan saat ini adalah mengutamakan penggunaan tenaga kerja lokal, sesuai dengan kebutuhan operasional, kompetensi yang tersedia, serta ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang ketenagakerjaan," jelas Firman.
Sebelumnya, pihak manajemen lama PT SRM melalui Corporate Communication Specialist Fahrizal Fahmi Daulay juga mengeluarkan pernyataan resmi perihal status WN China ini.
Ia membenarkan bahwa WN China yang mengoperasikan drone di area tambang PT SRM hingga terjadi keributan, adalah staf teknis PT SRM yang saat itu dipimpin Li Changjin.
Dalam pernyataan resminya, disebutkan bahwa penerbangan drone oleh WN China tersebut bukan di area militer atau area yang dilarang. Disebutkan juga bahwa ada oknum TNI yang tidak suka WN China mengoperasikan drone dan akhirnya melakukan penyitaan, baik drone maupun ponsel.
Setelah disita, oknum TNI dan Kepala Pengamanan Imran Kurniawan lalu menghapus hasil drone yang ada memori ponsel staf teknis tersebut. Setelah itu, mereka mengembalikan drone dan ponselnya ke WN China tenaga teknis PT SRM manajemen lama tersebut.
Belakangan tersebar dokumen yang menunjukkan bahwa Li Changjin merupakan orang masuk dalam Daftar Pencarian Orang (DPO) Polri sejak 2022. Bahkan, juga tersebar dokumen red notice Interpol.
(aau/aau)
