Kasus dugaan korupsi pada proyek pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) 1 di Mempawah, Kalimantan Barat (Kalbar) yang mangkrak akhirnya terungkap. Kini, Korps Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Kortas Tipikor) Bareskrim Polri menetapkan empat orang menjadi tersangka kasus rasuah dalam proyek di Mempawah itu.
Salah satu dari empat tersangka itu adalah Dirut PLN 2008-2009, Fahmi Mochtar (FM). Sementara, tiga tersangka lainnya dari pihak swasta Halim Kalla (HK) selaku Presiden Direktur PT BRN, RR selaku Dirut PT BRN, dan HYL selaku PT Praba.
Kasus dugaan korupsi diduga terjadi sejak 2008-2018. Proyek tersebut tidak selesai alias mangkrak karena fee atau bayaran secara tidak sah kepada pihak tertentu yang tidak memenuhi syarat dalam lelang.
Kasus korupsi kemudian tercium sejak tahun 2021 lalu. Perkara ini kemudian ditangani penyidik Polda Kalbar sejak 7 April 2021. Namun karena belum kunjung ada perkembangan dalam waktu lama, kemudian diambil alih Kortas Tipikor Bareskrim Polri pada Mei 2024 dengan melibatkan penyidik Polda Kalbar dalam investigasi.
Direktur Penyidikan Kortas Tipikor Bareskrim Polri, Brigjen Toto Suharyanto menjelaskan kronologi dan modus dalam kasus korupsi tersebut. Kasus berawal saat ada lelang ulang proyek PLTU 1 Kalbar dengan kapasitas 2x50 megawatt pada tahun 2008. Dia menduga ada kesepakatan yang dibuat sebelum lelang itu.
"Mens rea yang dibangun adalah pelaksanaan lelang tersebut didapat fakta tersangka FM selaku Dirut PLN telah melakukan permufakatan untuk memenangkan salah satu calon dengan tersangka HK dan tersangka RR selaku pihak PT BRN dengan tujuan untuk memenangkan lelang PLTU 1 Kalimantan Barat," kata Toto dikutip dari detikNews, Senin (6/10/2025).
Toto mengatakan KSO PT BRN dan Alton diduga lolos atas arahan FM. Padahal, katanya, perusahaan itu tidak memiliki syarat teknis dan administrasi.
"Tersangka FM telah meloloskan dan memenangkan KSO BRN, Alton dan OJSC meskipun tidak memiliki syarat teknis maupun administrasi. Selain itu diduga kuat bahwa perusahaan Alton, UGSC tidak tergabung dalam KSO yang dibentuk dan dikepalai oleh PT BRN," ujarnya.
KSO BRN kemudian diduga mengalihkan seluruh pekerjaan kepada PT Praba Indopersada pada tahun 2009. Polisi menduga ada pemberian fee kepada KSO BRN oleh HYL selaku Direktur PT Praba Indopersada.
"Pada tahun 2009 sebelum dilaksanakan penandatanganan kontrak, KSO BRN telah mengalihkan pekerjaan seluruh pekerjaan kepada PT Praba Indopersada dengan dirut tersangka HYL dengan kesepakatan pemberian imbalan fee Kepada PT BRN selanjutnya TSK HYL diberi hak sebagai pemegang keuangan KSO BRN," jelasnya.
Toto menyebut PT Praba juga tidak memiliki kapasitas untuk mengerjakan proyek tersebut. FM dan RR melakukan penandatanganan kontrak dengna nilai Rp 1,2 triliun dan tanggal efektif kontrak 28 Desember 2009 dengan masa penyelesaian sampai tanggal 28 Februari 2012.
"Pada tanggal 11 Juni 2009 dilakukan panandatanganan kontrak oleh tersangka FM selaku dirut PLN dengan tersangka RR selaku dirut PT BRN dengan nilai kontrak USD 80.848.341 dan USD 507.424.168.000 sekian atau total kurs saat itu Rp 1,254 triliun saat itu," kata Toto.
Pada akhirnya, perusahaan yang menenangkan proyek hanya melakukan 57 pekerjaan. Proyek tak selesai meski ada 10 kali perubahan kontrak.
"Pada akhir kontrak KSO BRN maupun PT Praba Indopersada baru menyelesaikan 57 pekerjaan. Kemudian telah dilakukan beberapa kali amandemen sebanyak 10 kali dan terakhir 31 Desember 2018," tuturnya.
Proyek disebut berhenti karena alasan ketidakmampuan keuangan PLN. Namun, menurut polisi, proyek telah berhenti sejak tahun 2016 dan ada pembayaran proyek ke para tersangka dengan cara tidak sah.
"Akan tetapi fakta sebenarnya pekerjaan telah terhenti sejak 2016 dengan hasil pekerjaan 85,56 persen. Sehingga PT KSO BRN telah menerima pembayaran dari PT PLN sebesar Rp 323 miliar (untuk pekerjaan konstruksi sipil) dan sebesar USD 62,4 juta (untuk pekerjaan mechanical electrical)," ujarnya.
Toto mengatakan pihaknya telah memeriksa puluhan saksi. Selain saksi, ada juga lima ahli yang telah dimintai keterangan.
Kerugian negara akibat proyek ini ditaksir mencapai lebih dari USD 62 juta atau Rp 1,3 triliun. Jumlah itu, menurut Toto, berasal dari perhitungan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).
"Kemudian kita juga telah menerima laporan hasil pemeriksaan investigatif perhitungan kerugian negara dari BPK terkait dengan pembangunan pembangkit listrik atau PLTU-1 Kalimantan Barat dengan kapasitas 2x50 megawatt. Kemudian dari BPK, tadi sudah disampaikan oleh Bapak Kortas, kerugian negara adalah total loss senilai USD 62.410.523,20 dan Rp 323.199.898 juta. Kira-kira Rp 1,3 triliun," ucapnya.
Simak Video "Video: Jadi Tersangka Korupsi PLTU Mempawah, Adik JK Dicekal ke Luar Negeri"
(aau/aau)