Kasus dugaan korupsi kredit fiktif senilai Rp 275,2 miliar di Bank Kaltimtara menjadi sorotan serius, karena skala kerugian dan kompleksitas modus operandinya.
Dosen Jurusan Akuntansi Fakultas Ekonomi Universitas Borneo Tarakan, sekaligus Ketua DPD Ikatan Keluarga Alumni (IKAL) Lembaga Ketahanan Nasional (LEMHANNAS) Kaltara, Dr. Mappa Panglima Banding menilai kasus tersebut mencerminkan kegagalan sistemik dalam tata kelola kredit perbankan daerah.
Menurut Dr. Mappa, modus penyaluran 47 fasilitas Kredit Modal Kerja (KMK) dengan jaminan Surat Perintah Kerja (SPK) fiktif, menunjukkan lemahnya prosedur verifikasi.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"SPK palsu seharusnya terdeteksi melalui cross-check dengan instansi pemberi proyek, seperti Kementerian PUPR atau sistem LPSE pemerintah. Ini menunjukkan due diligence bank tidak memadai," ujarnya kepada detikKalimantan, Minggu (17/8/2025).
Ia juga menyoroti pelanggaran prinsip segregation of duties. "Dugaan keterlibatan oknum internal bank, seperti manajer cabang atau staf kredit, mengindikasikan tidak adanya pemisahan tugas yang jelas antara tim pengajuan, verifikasi, dan penyetujuan kredit. Ini membuka peluang kolusi," tambahnya.
Sebanyak 30 kardus dokumen yang disita Polda Kaltara pada penggeledahan Jumat (15/8/2025) di Kanwil Kaltimtara, Cabang Tanjung Selor, dan Cabang Nunukan, kemungkinan berisi bukti rekayasa buku besar untuk menyamarkan aliran dana. Dr. Mappa menegaskan kasus ini bukanlah kejadian terisolasi.
"Pola serupa pernah terjadi di Bank Jateng 2022 dan Bank DKI 2021, dengan kerugian ratusan miliar akibat SPK fiktif. Cabang Nunukan, yang menjadi pintu masuk utama dalam kasus ini, menunjukkan lemahnya pengawasan di cabang terpencil," katanya.
Modus Kredit Fiktif dan Kelemahan Sistem
Dr. Mappa menjelaskan modus kredit fiktif melibatkan pemecahan pinjaman dengan nilai jaminan yang sama di beberapa cabang, seperti Tanjung Selor, Nunukan, dan KPP, untuk menghindari deteksi.
"Masing-masing cabang mungkin hanya menangani pinjaman Rp 8 miliar hingga Rp 10 miliar, sehingga tidak memicu red flag. Ini tidak mungkin terjadi tanpa kerja sama oknum internal bank, termasuk pimpinan cabang yang seharusnya tahu," ungkapnya.
Ia menegaskan kontrol internal bank jelas tidak berjalan. Bahkan pimpinan tertinggi sulit dianggap tidak mengetahui praktik ini. Selain itu, Dr. Mappa mencatat adanya kelemahan dalam pengelolaan cadangan piutang tak tertagih.
"Bank memiliki kuota cadangan, misalnya 30 persen dari total kredit. Jika kredit fiktif Rp 1 miliar, hanya Rp 700 juta yang dikembalikan, sisanya jadi 'biaya' yang tidak bisa ditagih. Ini salah satu modus untuk menyamarkan kerugian," jelasnya.
Ia juga menduga keterlibatan oknum pemerintah dalam menerbitkan SPK fiktif, sebab proyek-proyek tersebut sering terkait dengan instansi daerah atau provinsi.
Budaya Korporasi dan Tekanan Politik
Dr. Mappa menyoroti budaya korporasi di BUMN dan BUMD yang rentan terhadap praktik korupsi. Ia menegaskan sistem yang lemah dan budaya korporasi yang permisif memperparah risiko korupsi.
"Kasus ini bukan hanya soal Bank Kaltimtara. Pertamina dan BUMN lain juga punya riwayat serupa. Ada tekanan politik atau infiltrasi yang menjadikan perusahaan milik daerah sebagai bancakan," katanya.
Untuk mencegah kasus serupa, Dr. Mappa merekomendasikan tiga langkah utama. Pertama, penguatan audit internal dengan sistem deteksi kecurangan berbasis teknologi, seperti integrasi dengan database LPSE untuk validasi SPK.
Kedua, pelatihan anti-korupsi bagi karyawan guna mengenali red flags, seperti pengajuan kredit mendadak dengan agunan mencurigakan. Ketiga, kolaborasi dengan instansi eksternal untuk memverifikasi keaslian dokumen proyek.
"Bank Kaltimtara harus segera menerapkan whistleblower system yang dilindungi hukum, seperti diatur dalam Peraturan OJK No. 12/2021, agar karyawan berani melaporkan kecurangan tanpa takut tekanan," ujarnya.
Ia juga menekankan pentingnya audit forensik berkala oleh pihak independen untuk memeriksa transaksi mencurigakan, terutama di cabang dengan riwayat kredit bermasalah.
Dampak dan Urgensi Reformasi
Dengan potensi kerugian negara Rp 275,2 miliar, kasus ini dapat dijerat dengan Pasal 2 atau Pasal 3 UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yang mengancam hukuman penjara seumur hidup.
Dr. Mappa menilai keberhasilan penuntutan bergantung pada analisis forensik terhadap dokumen yang disita untuk melacak aliran dana dan mengungkap jaringan pelaku, termasuk debitur terafiliasi Indi Daya Grup dan kemungkinan pihak ketiga seperti pembuat SPK palsu.
"Kasus ini berpotensi mengganggu stabilitas keuangan daerah jika tidak ditangani serius. Bank Kaltimtara harus mereformasi tata kelola kredit, dan regulator seperti OJK perlu memberlakukan sanksi yang lebih tegas, bukan hanya administratif, untuk memberikan efek jera," tegasnya.
Dr. Mappa menegaskan kasus ini bukan hanya diketahui oleh polisi dan tim penyidik. "Akademisi dan praktisi seperti kami memahami modus ini. Selain itu, masyarakat juga mengawasi, karena ini menyangkut kepercayaan publik dan dana pegawai yang disimpan di bank tersebut," katanya.
Ia memperingatkan kegagalan memenuhi rasa keadilan bisa memicu keresahan masyarakat, terutama karena banyak pegawai daerah menabung dan menerima gaji melalui Bank Kaltimtara.
Dr. Mappa berharap kasus ini menjadi momentum bagi bank daerah dan BUMN untuk memperbaiki sistem verifikasi dan meningkatkan transparansi.
"Tanpa digitalisasi verifikasi dan penguatan independensi auditor, kasus kredit fiktif akan terus berulang, bahkan dengan skala kerugian yang lebih besar," pungkasnya.
(sun/bai)