Ada secercah semangat anak-anak untuk memperkaya ilmu di tanah Borneo bagian utara. Meski tidak tinggal di perkotaan yang maju, tapi mereka juga punya rasa ingin tahu yang besar dan cita-cita yang tinggi.
Asa itu datang dari Komunitas Literasi Jalanan Tarakan, gerakan ini jadi cahaya bagi anak-anak di wilayah pesisir dan pelosok yang sulit mengakses pendidikan. Komunitas itu sudah bergerak hampir sembilan tahun lamanya.
Komunitas Literasi Jalanan Tarakan hingga saat ini masih konsisten menggelar kegiatan literasi di berbagai titik, dari Taman Berlabuh hingga desa-desa terpencil seperti Desa Liagu dan Sadau. Harapan gerakan ini mulia, ingin menjangkau anak-anak putus sekolah atau yang tak pernah mengenyam pendidikan formal.
Chandra, salah satu penggerak Literasi Jalanan, membagi cerita perjuangan mereka. Kegiatan literasi keliling itu biasa mereka sebut dengan 'ngelapak', yakni mendirikan posko literasi sementara di lokasi seperti Taman Berlabuh, Amal, Karjo, Taman Baroka, hingga Taman Lingkas di Tarakan.
"Kami masuk ke tempat-tempat pelosok, di mana banyak anak yang tidak bisa baca tulis. Peran kami adalah membawa literasi langsung ke mereka, meski cuma seminggu atau 10 hari," ujar Chandra pada detikKalimantan.
![]() |
Menurut Chandra, wilayah pesisir menjadi fokus utama karena di sana mereka menemukan antusiasme tinggi dari anak-anak. Dalam setiap kegiatan rata-rata 20-30 anak hadir, jumlah itu masih didominasi oleh anak yang putus sekolah.
"Pesisir lebih menarik bagi kami. Anak-anak di sana lebih terbuka dan antusias," katanya.
"Dari 20-30 anak, mungkin 9 atau 10 yang sudah sekolah," tambah Chandra.
Menurut Chandra, rata-rata alasan anak-anak tersebut putus sekolah yakni faktor ekonomi dan keretakan rumah tangga kedua orang tuanya. Meski begitu, nyatanya mereka masih punya rasa penasaran dan semangat belajar yang membara.
"Setiap kami datang, mereka antusias sekali. Itu yang membuat kami terus bergerak," ujar Chandra.
Bagi komunitas ini, melihat anak-anak tetap semangat belajar meski dalam keterbatasan infrastruktur, menjadi alasan kuat untuk terus konsisten menyalurkan kebaikan.
Memperkaya Koleksi Buku Secara Mandiri
![]() |
Gerakan Literasi Jalanan tidak mengandalkan dana pemerintah. Mereka membiayai kegiatan melalui usaha mandiri, seperti menjual baju dan poster.
"Hasil penjualan itu kami alokasikan untuk ekspedisi literasi," tutur Chandra.
Koleksi buku mereka pun beragam. Ada beberapa buku-buku yang unik, sebab didapat dari hasil lelang gitar milik Dave Mustaine, gitaris Megadeth. Buku-buku itu ada yang mengisahkan ilmuwan Einstein, hingga tokoh inspiratif seperti Nelson Mandela dalam format visual kartun yang menarik untuk anak-anak.
Metode pengajaran mereka terinspirasi dari pendekatan tokoh pendidikan seperti Rabindranath Tagore dan Maria Montessori, meski tanpa disadari.
"Kami fokus bermain, belajar, dan bersenang-senang. Anak-anak bebas memilih tempat belajar, entah di taman atau depan laut. Itu lebih hidup dibandingkan di ruangan," cerita Chandra.
Tapi Chandra tak memungkiri, kendala terbesar pada niat baiknya ada pada pendanaan dan akses ke wilayah terpencil. Ia menceritakan bagaimana daerah Krayan, menurutnya kurang mendapat perhatian pemerintah.
"Kami ingin ke sana, tapi biayanya besar, bisa sampai Rp 4 juta sekali jalan. Tapi kami percaya selama niat tulus, selalu ada tangan yang membantu," katanya optimis.
Selama sembilan tahun, komunitas ini telah menjangkau Kapal Batas, Batik, Tulang, Liabu, hingga Sadau.
Dengan penampilan anggota komunitas yang santai, sering disebut selengean karena potongan rambut yang gondrong, Literasi Jalanan punya niat yang mulia. Meski mereka kerap menghadapi stigma negatif hanya dari penampilan.
"Banyak yang ragu karena penampilan kami, tapi kami buktikan dengan tindakan bahwa kami serius," ucap Chandra.
Ia mengaku mendapat respons masyarakat yang beragam. Ada yang mendukung, ada pula yang awalnya skeptis hingga akhirnya terbuka setelah beberapa kali interaksi.
Pesan untuk Pemerintah
![]() |
Chandra tak segan menyampaikan kritik kepada pemerintah. Sebab meski sudah bertahun-tahun mereka menggeluti kegiatan tersebut, belum ada instansi pemerintah yang mengajak komunitas untuk diskusi soal pendidikan.
"Pemerintah harus sadar dan bertobat. Mereka ingin anak-anak cerdas, tapi fasilitas pendidikan di pelosok masih minim. Listrik, air, jaringan internet, dan sekolah layak adalah hak dasar yang harus dipenuhi," kritiknya.
Harapan Literasi Jalanan sederhana. Mereka ingin fasilitas pendidikan dan infrastruktur yang memadai bagi anak-anak di pelosok.
"Kami ingin mereka punya akses listrik, air, jaringan, dan sekolah yang layak agar belajar lebih mudah," ujar Chandra.
Momen paling berkesan baginya adalah ketika anak-anak yang pernah mereka ajar kembali dengan cerita yang sukses atau sudah punya kehidupan lebih baik. Ada yang mencoba melanjutkan kuliah, atau aktif di komunitas lain.
Mereka mengambil salah satu motto untuk semangat, yakni 'sebaik-baik manusia adalah yang bermanfaat bagi orang lain'. Literasi Jalanan Tarakan terus melangkah, membawa cahaya pendidikan ke sudut-sudut yang terlupakan, meski tanpa sorotan besar.
"Selama pendidikan belum merata, kami akan terus berjalan," tutup Chandra dengan penuh harap.
(aau/aau)