Buku Hantu Tuan Kebun merupakan kumpulan fakta mengenai konflik yang terjadi antara masyarakat dengan korporasi sawit di Kalimantan Tengah. Buku tersebut ditulis Aldo Sallis dan Budi Baskoro, dua jurnalis yang aktif meliput isu-isu bertemakan lingkungan dan masyarakat adat. Dalam bedah buku itu, mereka mencoba mendiskusikannya dengan pemerintah dan para pemangku kepentingan.
Acara launching sekaligus bedah buku Hantu Tuan Kebun dilaksanakan di Swiss-Belhotel Danum pada Kamis (24/4/2025). Acara tersebut merupakan upaya untuk mengangkat isu masyarakat yang haknya dirampas di sekitar perkebunan sawit. Sekaligus pesan untuk para tuan kebun agar memperhatikan dampak dari usaha persawitan.
Dua penulis itu secara bergantian mengulas beberapa inti yang ada dalam buku Hantu Tuan Kebun. Mulai dari memaparkan bagaimana awal mula industri sawit masuk ke Kalimantan Tengah, yakni ditandai sejak berakhirnya industri kayu di Kalimantan Tengah pada era 1990-an.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Kedatangan industri sawit dinilai lebih ekonomis ketimbang terus menerus mengeksploitasi hutan rimba melalui perdagangan kayu. Namun terdapat keraguan serta penolakan dari masyarakat, karena penanaman sawit juga harus didahului dengan menghabisi hutan.
Selain itu, pertimbangan ganti-rugi yang dinilai sangat minim membuat masyarakat merasa dirugikan. Belum lagi diikuti kasus-kasus pencemaran lingkungan.
Hal tersebut berawal dari janji manis dalam regulasi, yang memandatkan perusahaan yang dimiliki para Tuan Kebun (pemilik kebun), untuk berbagi hasil dengan masyarakat sekitar. Semula janji itu berupa saham minimal 20 persen yang tertera dalam SK Pelepasan Kawasan Hutan untuk perusahaan sawit.
Lalu ada kewajiban pemberian kebun plasma minimal 20 persen untuk masyarakat dari izin konsesi yang diberikan oleh perusahaan. Namun, janji-janji itu tak kunjung dipenuhi hingga menimbulkan konflik antara masyarakat sekitar dengan perusahaan sawit.
Konflik Masyarakat dengan Perusahaan Sawit
Misalkan kasus masyarakat Bangkal melawan PT Hamparan Masawit Bangun Persada (HMBP). Konflik itu tak pernah selesai meskipun perusahaan sudah tiga dekade beroperasi.
Konflik serupa juga terjadi di beberapa perusahaan lain, seperti Bangun Jaya Alam Permai (BJAP), Buana Arta Sejahtera (BAS), Tapian Nadenggan. Setidaknya, itu yang mereka temukan dalam riset dan investigasi di Kabupaten Kotawaringin Timur dan Seruyan.
Di tengah perjuangan masyarakat yang selalu buntu, baru-baru ini, pemerintah membentuk Satgas Penertiban Kawasan Hutan (PKH). Mereka menyita kebun-kebun perusahaan yang ternyata masih berstatus kawasan hutan. Hal ini semakin menyulitkan perjuangan masyarakat menghadapi perindustrian sawit.
"Yang jelas, sebagai jurnalis kami tetap skeptis. Jangan-jangan kebijakan ini hanya semacam 'take over' saja atas penguasaan lahan dan sumber daya alam di antara para Tuan Kebun semata," ungkap Budi.
Aldo juga mengungkapkan dalam pembangunan hendaknya tidak ada warga yang tertinggal di belakang. Buku ini menunjukkan cerita dan kisah haru mereka yang berkonflik dengan perkebunan sawit.
"Apapun sektornya, pembangunan itu untuk masyarakat jadi tidak boleh ada yang ditinggal di belakang, semua harus bisa merasakan kesejahteraan dari kehadiran investasi," katanya.
Asisten Tindak Pidana Khusus Kejaksaan Tinggi Kalimantan Tengah, sekaligus fasilitator dalam tim Satgas Penertiban Kawasan Hutan (PKH), Wahyudi Eko Husodo menekankan bahwa pembentukan satgas tujuannya hanya sebatas penertiban. Lahan seluas 481.000 hektare di Bumi Tambun Bungai yang telah disita oleh Satgas PKH tersebut tidak membuat pekerja di perusahaan sawit diberhentikan.
Baginya industri sawit harus tetap jalan, sambil tim menghitung denda, dan pengelolaan lebih lanjut pada kebun-kebun yang disita oleh PT Agrinas Palma Nusantara, Badan Usaha Milik Negara (BUMN). "Denda yang diberikan masuk ke kas negara," ucapnya.
Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia
Sementara itu, Sekretaris Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gappki) cabang Kalimantan Tengah, Rawing Rambang menyambut terbuka hadirnya buku ini, sebagai ungkapan pengalaman dua jurnalis memotret permasalahan masyarakat dan perusahaan sawit.
Namun ia mengingatkan bagaimanapun sawit adalah komoditas andalan yang mengerek ekonomi Indonesia lebih tinggi.
"Penyumbang devisa terbesar selain Batubara," ujarnya.
Rawing juga tidak menutup mata terkait konflik yang terjadi antara masyarakat dengan korporasi sawit. Ia menekankan adanya regulasi yang jelas dan konsisten dari pemerintah.
"PR sekarang bahwa yang disebutkan penulis banyak konflik-konflik dengan masyarakat, terutama terkait penggunaan lahan. Saya menyarankan penggunaan lahan ini setiap masyarakat didesa itu ada surat keterangan tanah. Selama ini kan belum ada. Nah itu tugas pemerintah daerah dan tugas perusahaan juga," terangnya.
Save Our Borneo
Direktur Save Our Borneo, Muhammad Habibi menyebut regulasi soal tata kelola sudah ada, perusahaan-perusahaannya pun ada, bahkan peta-peta konsesinya tersedia. Sayangnya, pelaksanaan di lapangan tidak sejalan dengan cita-cita yang diatur dalam regulasi.
"Dalam situasi seperti ini, yang paling sering menjadi korban adalah masyarakat. Bahkan, tidak jarang masyarakat harus berhadapan dengan sesama anak bangsa aparat keamanan yang berjaga di wilayah perkebunan," kata Habibi.
Ia berharap melalui seminar dan penerbitan buku Hantu Tuan Kebun ini, dapat ditemukan jalan tengah atas beragam persoalan yang ada. "Setidaknya, buku ini dapat memberikan gambaran persoalan mana yang bisa diselesaikan dalam waktu dekat, mana yang butuh solusi jangka menengah, dan mana yang perlu pendekatan jangka panjang," paparnya.
Acara tersebut turut dihadiri sejumlah wartawan, NGO serta mahasiswa dari Universitas Muhammadiyah dan Universitas Palangka Raya.
(sun/mud)