Kalimantan bukan sekadar pulau hijau dengan sungai-sungai raksasanya. Pulau ini adalah rumah bagi peradaban tua yang menyimpan beragam warisan adat, simbol-simbol sakral, dan sistem kepercayaan yang terus hidup hingga hari ini.
Bagi siapa saja yang menginjakkan kaki di tanah ini, terutama sebagai pendatang atau anak rantau, ada satu hal yang tak boleh dilanggar yakni jangan pernah menghina patung kayu.
Mungkin bagi sebagian orang luar, patung kayu hanya dianggap sebatas seni ukir biasa. Tapi di tengah masyarakat Dayak, terutama mereka yang menganut Kaharingan (agama lokal yang diakui sebagai bagian dari Hindu Kaharingan), patung-patung ini adalah representasi roh leluhur, penjaga kampung, dan simbol hubungan antara manusia dengan dunia roh (lewu lia).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Salah satu bentuk yang paling dikenal adalah pantak. Itu merupakan patung kayu yang berdiri kokoh di halaman rumah panjang atau di tempat-tempat tertentu di desa.
Bukan Patung Biasa, tapi Media Komunikasi dengan Leluhur
Masyarakat Dayak percaya bahwa roh leluhur masih 'hidup' di dunia mereka, dan patung kayu adalah salah satu medium tempat roh itu bersemayam atau hadir.
Menurut penelitian yang dipublikasikan dalam jurnal Catharsis oleh Andrianus, Iswidayati, dan Triyanto (2016), pantak merupakan ekspresi budaya yang lahir dari kepercayaan masyarakat Dayak Kanayatn terhadap leluhur. Melalui penelitian ini juga ditemukan bentuk dan fungsi pantak yang erat terkait perubahan sosial budaya, sekaligus menjadi lambang identitas suku Kalimantan Barat.
Lebih lanjut, Cindy, Dahniar Th. Musa, dan Efriani (2023) dalam Jurnal Sosial Budaya menegaskan pantak sudah ada selama sekitar 150 tahun. Pembuatannya melalui ritual ngalantekant (permohonan izin leluhur), dan secara simbolis menjadi media pemohon restu panen, keselamatan, dan perlindungan desa.
Maka dari itu, memotret patung sembarangan, mengolok-olok bentuk wajahnya, atau menyentuhnya tanpa izin, dianggap tindakan yang tidak sopan, bahkan bisa menimbulkan gangguan spiritual. Beberapa cerita turun-temurun di kalangan masyarakat Dayak menyebutkan pelanggaran semacam itu bisa menyebabkan orang tersesat di hutan, jatuh sakit, atau dirundung malapetaka tanpa sebab.
Baca juga: Jangan Memandang Rendah Orang Dayak! |
Makna Pantak Sebagai Medium Komunikasi Leluhur
Hasil kajian dalam Jurnal Luxnos (2021) memperjelas bahwa pantak dianggap sebagai 'penjaga kampung' dan medium untuk menolak bala. Mereka diletakkan di tempat strategis, seperti depan kampung atau ladang, untuk menjaga wilayah dari malapetaka, baik itu penyakit, bencana alam, atau gangguan roh jahat.
Pantak juga dipandang sebagai simbol penghormatan terhadap tokoh yang berjasa, seperti panglima, tabib, atau leluhur yang membuka desa. Bangunannya hanya dilakukan melalui ritual khusus, dan hanya orang atau tokoh tertentu yang pantas dipahatkan sebagai pantak.
Etika Budaya yang Wajib Dihormati
Bagi anak rantau yang tinggal di Kalimantan atau wisatawan yang sekadar berkunjung, penting untuk memahami bahwa patung kayu dalam budaya Dayak adalah bagian dari sistem kosmologi dan spiritualitas.
Benda sakral ini bukan hiasan atau objek wisata belaka. Bahkan dalam kunjungan resmi atau kegiatan penelitian, para akademisi pun diwajibkan mengikuti protokol adat, termasuk memberikan tampung tawar, sebuah bentuk permisi secara spiritual kepada leluhur setempat.
Bagian-bagian Patung Pantak Tradisional:
![]() |
Setelah banyak membahas tentang patung kayu sakral dari budaya Dayak, mari kita mengenal bagaimana bentuk Pantak.
- Bentuk patung Pantak. Foto: Andrianus. dkk (2016)
- Berdasarkan gambar analisis visual dari jurnal Catharsis: Journal of Arts Education (Andrianus, dkk., 2016), patung Pantak memiliki sejumlah bagian penting yang menggambarkan simbol dan ekspresi budaya masyarakat. Berikut penjelasan bagian-bagiannya:
- Berikat Kepala: Di bagian kepala, patung Pantak mengenakan ikat kepala khas yang melambangkan identitas dan kedudukan tokoh yang diwakili.
- Diameter Kepala (8 cm): Ukuran kepala ini menunjukkan proporsi simbolik dalam tubuh patung, tidak semata-mata artistik, tapi juga mencerminkan kesetaraan bentuk yang seimbang.
- Mata, Hidung, Mulut, dan Telinga: Empat elemen ini divisualisasikan secara jelas sebagai bagian dari ekspresi wajah. Masing-masing organ diwujudkan secara proporsional dan berfungsi menampilkan karakter tokoh yang dihormati.
- Panjang Tangan (30 cm): Tangan Pantak dibuat terbentang ke samping. Ini dimaknai sebagai lambang keterbukaan, kesiapsiagaan, atau perlindungan.
- Bersenjata Tangkitn: Patung ini membawa senjata tradisional khas Dayak, yaitu Tangkitn. Ini menandakan bahwa tokoh yang divisualisasikan adalah seorang penjaga atau pelindung.
- Berselendang Kain Merah: Kain merah yang melilit tubuh patung adalah simbol sakralitas dan kekuatan spiritual. Warna merah dalam budaya Dayak sering dikaitkan dengan keberanian dan kekuatan gaib.
- Tekstur Kayu: Pangak dibuat dari kayu asli dengan mempertahankan tekstur alaminya. Ini bukan hanya nilai estetika, tetapi juga berkaitan dengan unsur alam dan kepercayaan terhadap roh yang mendiami kayu tersebut.
- Keseimbangan Simetris: Tubuh patung dirancang simetris untuk mencerminkan harmoni, keselarasan antara alam, manusia, dan roh leluhur.
- Ketinggian Patung (1 meter) dan Kaki (30 cm): Proporsi ini memperlihatkan bentuk tubuh yang tegak dan kokoh, mencerminkan sikap waspada dan kekuatan penjagaan.
Baca juga: Jangan Main-main dengan Mandau! |
Semua elemen ini divisualisasikan dengan maksud menggambarkan tokoh masyarakat yang dihormati dan menjadi penjaga spiritual masyarakat Dayak Kanayatn. Patung Pantak bukan sekadar karya seni, tetapi representasi spiritual yang sakral dan harus diperlakukan dengan hormat.
Patung kayu dalam budaya Dayak adalah warisan sakral yang tak boleh dipandang sebelah mata. Benda bukan sekadar hasil ukiran tangan, tapi media spiritual dan penjaga hubungan antara dunia manusia dan roh leluhur.
Sebagai anak rantau, bersikap hormat terhadapnya bukan hanya soal adat, tetapi juga bentuk penghormatan atas kedaulatan budaya lokal. Mengenai etika sosial di Kalimantan tersebut, sebelumnya juga telah diulas dalam situs resmi Selolah Tinggi Ilmu Kesehatan Husada Borneo dengan judul Etika Sosial di Kalimantan, Anak Rantau Harus Tahu.
Semoga artikel ini membantu membuka mata kita semua akan pentingnya menghargai simbol-simbol sakral di tanah tempat kita berpijak.
(sun/des)