Gaung Sape Kalimantan di Tangan Kaum Perantau Muda

Gaung Sape Kalimantan di Tangan Kaum Perantau Muda

Oktavian Balang - detikKalimantan
Kamis, 03 Jul 2025 20:01 WIB
Komunitas Pecinta Sape Yogyakarta.
Foto: Dok. Pecinta Sape Yogyakarta
Jogja -

Pecinta Sape Yogyakarta (PSY) memperkenalkan dan melestarikan budaya Kalimantan, khususnya alat musik tradisional sape. Mereka memilih Yogyakarta sebagai tempat untuk menyebarluaskan sape, mengingat kota ini dikenal kental akan budayanya.

Matias Yoq dan Stefan Rada, dua anggota komunitas, berbagi kisah perjalanan PSY serta semangat mereka dalam menjaga warisan budaya Kalimantan. Matias yang merupakan mantan ketua PSY asal Kabupaten Kutai Timur, Kalimantan Timur, menjelaskan awal mula terbentuknya komunitas ini.

Pada 2018, Matias mengenal beberapa pelajar Kalimantan di Jogja yang senang bermain sape. Namun, saat itu belum ada wadah. Mereka bergerak sendiri-sendiri mengikuti acara budaya dan lomba-lomba.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Akhirnya, pada 2019, muncul ide untuk membentuk komunitas dengan fokus pada sape, alat musik khas Kalimantan," tutur pemuda Dayak Wehea itu kepada detikKalimantan, Kamis (3/7/2025).

Komunitas ini awalnya hanya terdiri dari lima hingga enam orang. Kini anggota telah bertambah menjadi 65 orang. Asalnya pun bukan hanya dari Kalimantan. Ada juga yang berasal dari Gorontalo, Bali, dan Jawa Tengah.

"Kami tidak hanya fokus pada sape, tapi juga budaya Kalimantan secara luas. Ada yang membawa tarian, alat musik lain seperti kecapi, rebab, hingga panting dari Kalimantan Selatan. Kami saling belajar dan mengenalkan budaya masing-masing daerah," imbuh Matias.

Komunitas Pecinta Sape Yogyakarta.Komunitas Pecinta Sape Yogyakarta. Foto: Dok. Pecinta Sape Yogyakarta

PSY saat ini diketuai oleh Stefan Rada, pemuda asal Kabupaten Bengkayang, Kalimantan Barat. Stefan menekankan bahwa PSY bukan hanya tentang musik.

"Ada anggota yang tidak main musik, tapi punya keahlian lain seperti videografi atau manajemen organisasi. Ini yang membuat komunitas kami kaya dan beragam," ujar keturunan Dayak Ahe ini.

Menurut Stefan, sape bukan sekadar alat musik, melainkan juga media komunikasi dengan makna mendalam.

"Di daerah saya, sape digunakan dalam ritual pengobatan, upacara adat, hingga kematian. Sape menghubungkan manusia, alam, dan leluhur," jelasnya.

Menjaga Identitas Budaya di Tengah Modernisasi

Salah satu tantangan besar yang dihadapi PSY adalah stigma bahwa budaya tradisional, termasuk sape, dianggap kuno. Namun, Matias dan Stefan justru melihat ini sebagai peluang untuk mengubah persepsi tersebut.

"Saya ingin mengubah pola pikir bahwa alat musik tradisional itu kuno," tugas Matias

Sape bisa dibawa ke ranah modern, dikolaborasikan dengan alat musik lain seperti gamelan atau kecapi Sunda. Ini menunjukkan budaya kita relevan dengan perkembangan zaman.

Stefan bertemu teman-teman dari berbagai daerah di Jogja, saling bertukar pemikiran, dan ini memperkaya pengalaman. Selain itu, ia ingin menjadi contoh bagi adik-adik di kampung asalnya bahwa budaya Kalimantan adalah identitas yang harus dibanggakan.

"Jika kita malu, jati diri budaya kita bisa hilang," tuturnya.

Matias menambahkan, untuk menjaga keaslian budaya, PSY selalu berkonsultasi dengan narasumber dari daerah asal sebelum menampilkan tarian atau musik tertentu.

"Kami pernah dikritik karena dianggap salah membawakan tarian. Tapi kami selalu antisipasi dengan bertanya langsung ke tokoh adat atau narasumber dari daerah tersebut agar apa yang kami tampilkan bisa dipertanggungjawabkan," jelas Matias.

Menyatukan Beragam Daerah dan Keterampilan

Keunikan PSY terletak pada keterbukaan mereka terhadap anggota dari luar Kalimantan. Selain pemain musik, PSY juga melibatkan penari, fotografer, dan videografer, menciptakan kolaborasi lintas disiplin.

"Ada teman dari Bali yang sangat mencintai budaya Dayak dan bergabung dengan kami. Dia bahkan membawa sape ke acara di luar Jogja," cerita Stefan.

Matias sendiri mengaku senang banyak orang luar Kalimantan yang menunjukkan ketertarikan pada sape dan budaya Kalimantan pada umumnya. Namun, ada juga yang salah mengira bahwa sape bisa dimainkan dengan mudah. Padahal menurutnya bermain sape tak bisa sembarangan dan butuh proses. Hanya segelintir orang yang mau dan mampu belajar hingga mahir.

"Banyak yang tertarik belajar, tapi sebagian ingin instan. Padahal, belajar sape butuh proses. Tapi ada juga yang bertahan, seperti anggota dari Gorontalo yang aktif ikut kegiatan kami," ujar Matias.

Komunitas Pecinta Sape Yogyakarta.Komunitas Pecinta Sape Yogyakarta. Foto: Dok. Pecinta Sape Yogyakarta

Kolaborasi dan Penampilan di Berbagai Panggung

Sejak berdiri pada 2019, PSY telah tampil di berbagai acara, mulai dari lingkup kampus hingga event nasional. Stefan, yang bergabung sejak 2022, menceritakan bahwa komunitas ini sering mengisi acara seperti Dayak Night di Universitas Sanata Dharma, festival budaya nasional seperti Sena Sutra, hingga pentas di mal dan kafe untuk acara seperti Imlek atau pernikahan.

"Kami juga pernah tampil di Malioboro untuk acara Art for Charity, menggalang dana bagi korban banjir di Kalimantan Barat," ungkap Stefan.

Penampilan PSY bervariasi, mulai dari solo sape dengan backing track hingga format band akustik yang menggabungkan sape dengan alat musik modern.

"Kami pernah kolaborasi dengan gamelan dan kecapi Sunda. Sape tetap jadi karakter utama, tapi alat musik lain sebagai pengiring untuk menciptakan keunikan," tambah Matias.

Halaman 2 dari 2


Simak Video "Rindik, Alat Musik Tradisional Bambu Bali yang Masih Eksis"
[Gambas:Video 20detik]
(des/des)
Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Hide Ads