Pakar Ekonomi Ungkap Dua Sisi Dampak Transaksi Digital yang Terhubung NIK

Nasional

Pakar Ekonomi Ungkap Dua Sisi Dampak Transaksi Digital yang Terhubung NIK

Nikita Rosa - detikKalimantan
Minggu, 10 Agu 2025 20:05 WIB
Quick Response Indonesian Standard (QRIS) sempat menjadi sorotan pemerintah Amerika Serikat (AS). Transaksi digital tersebut dinilai membatasi ruang gerak perusahaan asing.
Ilustrasi transaksi digital. Foto: Rifkianto Nugroho
Jakarta -

Pada 17 Agustus 2025, pemerintah akan meluncurkan sistem Payment ID yang menghubungkan seluruh transaksi digital dengan Nomor Induk Kependudukan (NIK). Transaksi digital itu di antaranya meliputi rekening bank, dompet elektronik, QRIS, hingga pinjaman online.

Kebijakan ini pun disoroti oleh pakar ekonomi. Mengutip detikEdu, pakar ekonomi dan dosen di Universitas Muhammadiyah Surabaya Arin Setyowati mengatakan kebijakan ini memiliki dua sisi dampak yang harus diperhatikan.

Masyarakat sebelumnya sempat khawatir terhubungnya transaksi digital dengan NIK ini menjadi bentuk pengawasan berlebih yang dilakukan pemerintah dan membebani masyarakat. Sebab, transaksi dapat dipantau secara real-time oleh otoritas pajak. Namun, menurut Arin, sebaiknya Payment ID tidak dilihat sebagai alat pemantauan pajak semata.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Jangan dilihat semata-mata sebagai alat pemantauan pajak. Jika dirancang secara adil dan transparan, Payment ID justru dapat menjadi gerbang menuju inklusi keuangan," jelas Arin dikutip detikEdu dari laman Universitas Muhammadiyah Surabaya, Minggu (10/8/2025).

Arin berpendapat kebijakan ini merupakan imbas dari perkembangan ekonomi digital di Indonesia yang pesat dan niscaya tak terhindarkan. Nilai transaksi digital nasional diperkirakan akan mencapai USD 130 miliar pada 2025, dengan pertumbuhan rata-rata 19 persen per tahun.

Sehingga, lanjut dia, Payment ID justru diharapkan memperkuat kepercayaan investor akan transaksi digital di Indonesia, karena meminimalisir celah transaksi ilegal dan meningkatkan kualitas data ekonomi digital nasional.

Meski demikian, masyarakat tetap khawatir ada dampak negatif yang patut diwaspadai. Utamanya bahwa semua transaksi, termasuk transfer, akan langsung dikenai pajak.

Bank Indonesia pernah menyatakan bahwa sistem Payment ID akan berbasis persetujuan pengguna atau consent-based dan mplementasinya didasarkan pada Undang-undang (UU) Perlindungan Data Pribadi. Namun, kecemasan terkait keamanan dan privasi tetap ada. Apalagi kasus kebocoran data cukup sering terjadi di Indonesia.

"Negara akan memegang basis data keuangan yang sangat sensitif. Tanpa pengawasan independen yang ketat, risiko penyalahgunaan tetap ada. Tanpa jaminan privasi yang kuat, kepercayaan publik akan sulit terbangun," kata Arin.

Namun, Arin menekankan bahwa Payment ID perlu dipandang sebagai alat pemberdayaan ekonomi, bukan hanya alat pungutan pajak. Dia mencontohkan kemudahan yang bisa dirasakan pelaku UMKM. Sebelumnya, pelaku UMKM kerap kesulitan mendapatkan pembiayaan karena keterbatasan riwayat transaksi resmi.

Menurutnya, Payment ID memang kebijakan dengan potensi ganda. Di satu sisi mampu memperkuat ekonomi digital, tapi di sisi lain juga dapat menjadi alat kontrol yang dipertanyakan transparansinya.

"Negara harus menunjukkan keberpihakan yang jelas, yakni melindungi kelompok kecil dan rentan, sekaligus menindak tegas penghindaran pajak berskala besar. Hanya dengan kebijakan yang inklusif dan transparan, Payment ID bisa menjadi infrastruktur bersama yang adil dan aman bagi semua warga negara," pungkas Arin.

Artikel ini telah tayang di detikEdu.




(des/des)
Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Hide Ads