Ini Jurusan Kuliah yang Disarankan Orang Berharta Rp 2.300 T, Bukan IT

Internasional

Ini Jurusan Kuliah yang Disarankan Orang Berharta Rp 2.300 T, Bukan IT

Fadhly Fauzi Rachman - detikKalimantan
Selasa, 22 Jul 2025 14:30 WIB
CEO Nvidia Jensen Huang
CEO Nvidia Jensen Huang/Foto: Adi Fida Rahman/detikinet
Balikpapan -

Jika CEO Nvidia, Jensen Huang masih muda, ia tidak akan memilih jurusan teknologi informasi atau software saat kuliah, melainkan ilmu fisika.

Jensen Huang dikenal sebagai manusia ribuan triliun usai perusahaannya menembus valuasi US$ 4 triliun atau lebih dari Rp 65.000 triliun. Mengenai jurusan kuliah tersebut ia ungkapkan saat mendapat pertanyaan dari seorang jurnalis.

"Untuk Jensen yang muda, 20 tahunan, yang baru lulus sekarang, mungkin dia akan memilih... lebih ke ilmu fisika daripada ilmu perangkat lunak," jawabnya yang dikutip dari CNBC, ditulis Selasa (22/7/2025).

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Untuk diketahui, ilmu fisika (physical science) mencakup bidang seperti fisika, kimia, astronomi, dan ilmu kebumian, berbeda dengan ilmu hayati. Jensen merupakan lulusan teknik elektro dari Oregon State University dan meraih gelar master dari Stanford University.

Ia ikut mendirikan Nvidia pada 1993, bersama Chris Malachowsky dan Curtis Priem. Dari sebuah pertemuan sederhana di restoran Denny's, kini Nvidia menjadi perusahaan paling bernilai di dunia, memimpin revolusi AI.

Manusia berharta US$ 148,1 miliar atau sekitar Rp 2.399 triliun itu menjelaskan bahwa dalam 15 tahun terakhir, dunia telah melewati beberapa fase AI.

"Modern AI benar-benar mulai dikenal sekitar 12 hingga 14 tahun lalu, saat AlexNet muncul dan visi komputer mengalami terobosan besar," katanya dalam The Hill & Valley Forum di Washington, April lalu.

AlexNet adalah model yang mengenalkan deep learning dalam pengenalan gambar dan menjadi pemicu ledakan AI modern. Fase itu disebut Jensen sebagai Perception AI. Lalu masuk ke fase Generative AI, yang membuat AI bisa memahami informasi dan menerjemahkannya menjadi teks, gambar, kode, dan lainnya.

Menurut Jensen, kini kita berada di era Reasoning AI. "Kita sekarang memasuki era yang disebut Reasoning AI, di mana AI kini bisa memahami, menghasilkan, dan memecahkan masalah serta mengenali kondisi yang belum pernah kita lihat sebelumnya," jelasnya.

Jenis AI ini melahirkan agentic AI, atau robot digital yang mampu bernalar dan bekerja layaknya tenaga kerja manusia digital. Namun menurut Jensen, fase berikutnya jauh lebih kompleks dan menarik, yakni Physical AI.

"Gelombang berikutnya menuntut kita memahami hal-hal seperti hukum fisika, gesekan, inersia, sebab dan akibat," katanya.

AI generasi ini membutuhkan kemampuan untuk melakukan penalaran fisik, seperti memahami bahwa benda tetap ada meski tak terlihat, atau memperkirakan seberapa besar tenaga yang dibutuhkan untuk mengangkat benda tanpa merusaknya.

"Dan ketika Anda memasukkan AI fisik itu ke dalam benda nyata yang disebut robot, jadilah robotika," tambah Huang.

"Jadi mudah-mudahan, dalam 10 tahun ke depan, saat kita membangun generasi baru pabrik-pabrik ini, semuanya sangat mengandalkan robot dan bisa membantu kita menghadapi kekurangan tenaga kerja yang parah di seluruh dunia," tutup Jensen.

Artikel ini sebelumnya tayang di detikFinance dengan judul Bukan IT! Ini Jurusan yang Paling Disarankan Manusia Rp 2.300 Triliun.




(sun/des)
Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Hide Ads