Nasib 109 Juta Pekerja RI Digaji Minim, Pasrah karena Lapangan Kerja Terbatas

Nasib 109 Juta Pekerja RI Digaji Minim, Pasrah karena Lapangan Kerja Terbatas

Amanda Christabel - detikKalimantan
Sabtu, 31 Mei 2025 22:00 WIB
Stressed exhausted woman sitting at office desk and working overtime, she is overloaded with work
Ilustrasi overwork. Foto: Getty Images/iStockphoto/cyano66
Samarinda -

Sebanyak 109 juta pekerja di Indonesia ditaksir menerima gaji di bawah upah minimum provinsi (UMP). Fakta tersebut ditemukan dari riset Center of Economic and Law Studies (CELIOS) yang mengolah data Badan Pusat Statistik (BPS).

Dilansir detikFinance, data CELIOS menunjukkan adanya peningkatan jumlah pekerja penerima gaji di bawah UMP. Salah satu penyebab adalah lemahnya penegakan aturan terkait UMP.

Direktur Eksekutif CELIOS Bhima Yudhistira menjelaskan pekerja dengan gaji di bawah minimum provinsi mencapai 84% pada 2024. Jumlah ini meningkat dibandingkan tahun 2021 yakni sebesar 63% saja.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Dari data BPS yang mereka olah, jumlah pada tahun 2024 itu setara 109 juta pekerja. Sedangkan pada 2021 "hanya" sekitar 83 juta pekerja.

"Alasan pekerja digaji di bawah UMP adalah lemahnya penegakan aturan soal upah minimum. Pekerja yang digaji di bawah upah minimum cenderung pasrah, menerima kondisi yang berat, karena sempitnya lapangan kerja," jelas Bhima, Sabtu (31/5/2025).

Terbatasnya lapangan kerja ini membuat para pekerja cenderung pasif. Mereka merasa masih beruntung memiliki pekerjaan meski bergaji kecil daripada tidak memiliki pekerjaan sama sekali.

"Jadi, para pekerja pun pasif melaporkan adanya dugaan pelanggaran hak normatif pekerja. Istilahnya, daripada menganggur, mending bekerja dengan upah rendah, dan ini tren yang seolah dinormalisasi. Ada juga kasus maraknya union busting, di mana pekerja dilarang berserikat sehingga aduan soal kepatuhan perusahaan melemah," lanjutnya.

CELIOS juga menemukan faktor penyebab tingginya angka pekerja bergaji rendah. Yakni porsi pekerja di sektor informal yang terlampau besar, terutama setelah gelombang Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) di sektor industri pengolahan.

"Begitu terjadi gelombang PHK beberapa tahun terakhir, yang pindah ke pekerjaan informal termasuk ojol (ojek online) dan kurir naik tajam. Ada juga yang menjadi pekerja di usaha milik keluarga skala UMKM. Jenis pekerjaan informal rentan secara upah dan jaring pengaman lainnya, seperti kepesertaan BPJS Ketenagakerjaan," jelasnya.

Bhima mengatakan kondisi ini otomatis berdampak ke perekonomian masyarakat. Meskipun banyak orang tetap bekerja, bahkan semakin banyak, tetapi mereka semakin kesulitan memenuhi kebutuhan hidup.

Kondisi ini, kata Bhima, sangat mungkin merembet ke permasalahan sosial yang lebih besar. Tingkat stres dan depresi semakin tinggi. Orang-orang memilih alternatif seperti pinjaman online (pinjol) bahkan judi online demi mendapatkan uang secara instan. Efek dominonya lagi, kriminalitas meningkat, perceraian meningkat, dan lain-lain.

"Sebagian lainnya yang masih bertahan, suami-istri harus bekerja secara overworked. Suami dan istri sama-sama kerja banting tulang untuk tutup kebutuhan harian," jelasnya.

Berdasarkan Undang-Undang (UU) Ketenagakerjaan Pasal 89 Ayat 1, upah minimum terdiri atas upah minimum berdasarkan wilayah provinsi atau kabupaten/kota, dan upah minimum berdasarkan sektor pada wilayah provinsi atau kabupaten/kota.

Selain itu, UU Ketenagakerjaan Pasal 90 Ayat 1 menyatakan bahwa pengusaha dilarang membayar upah lebih rendah dari upah minimum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 89. Lebih lanjut, UU Ketenagakerjaan Pasal 90 Ayat 2 menyebutkan bagi pengusaha yang tidak mampu membayar upah minimum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 89 dapat dilakukan penangguhan.




(des/des)
Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Hide Ads