Cuti Bersama Berdampak ke Produktivitas, Pengusaha Minta Kaji Ulang Kebijakan

Nasional

Cuti Bersama Berdampak ke Produktivitas, Pengusaha Minta Kaji Ulang Kebijakan

Amanda Christabel - detikKalimantan
Jumat, 16 Mei 2025 16:00 WIB
Ketua Umum APINDO Shinta Kamdani
Ketua Umum APINDO Shinta Kamdani. Foto: Aulia Damayanti/detikcom
Jakarta -

Banyaknya cuti bersama atau tanggal merah di Indonesia membuat pengusaha 'menjerit'. Mereka pun meminta pemerintah untuk mengkaji ulang kebijakan cuti bersama agar tidak menghambat produktivitas.

Dilansir detikFinance, Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Shinta Kamdani mengamini bahwa hari libur memberikan sejumlah manfaat terutama bagi pekerja. Namun, dia menekankan bahwa kebijakan libur panjang tidak bisa disamaratakan di semua sektor usaha. Contohnya sektor padat karya.

Dia menyinggung dampak terganggunya sektor logistik, seperti yang terjadi di Tanjung Priok beberapa waktu lalu. Menurutnya, sejumlah barang tertahan di pelabuhan akibat kapal tidak dapat melakukan aktivitas bongkar-muat selama libur panjang.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Dalam praktiknya, sektor-sektor industri padat karya seperti manufaktur dan logistik kerap menghadapi tantangan saat terjadi hari libur panjang secara serentak. Penundaan distribusi barang, antrean di pelabuhan, hingga gangguan terhadap target produksi adalah contoh konkret yang berdampak pada efisiensi dan daya saing industri nasional," jelas Shinta, Jumat (16/5/2025).

Shinta juga membeberkan tekanan di sektor padat karya, baik dari sisi permintaan global yang melemah, biaya produksi yang meningkat, ancaman kompetisi dengan negara lain, maupun tekanan terhadap keberlanjutan lapangan kerja. Dia pun berharap agar penetapan cuti bersama dapat melibatkan seluruh pihak, termasuk pengusaha.

"Karena itu, kami mendorong agar ke depan, proses penetapan cuti bersama dilakukan secara lebih terukur dan mempertimbangkan masukan dari lintas sektor secara menyeluruh. Penjadwalan yang lebih cermat akan membantu memastikan bahwa kebijakan ini tetap memberikan manfaat sosial dan ekonomi, tanpa mengganggu kontinuitas operasional sektor-sektor yang strategis dan kurang fleksibel secara ritme kerja," ujar Shinta.

Senada, Ketua Bidang Ketenagakerjaan Apindo Bob Azam menilai pemerintah mungkin beranggapan libur panjang dapat 'menghidupkan' banyak orang. Padahal, menurut dia, produktivitas secara nasional justru terganggu akibat terlalu sering libur.

"Mungkin pemerintah beranggapan libur panjang itu akan menghidupkan banyak orang. Tapi di lain sisi, membuat implikasi terjadinya inefisiensi, gangguan di sektor logistik. Yang lebih parah lagi, produktivitas kita secara nasional juga terganggu," kata Bob, Jumat (16/5/2025).

Sebagai perbandingan, Bob mencontohkan jam kerja di negara-negara lain seperti Amerika Serikat (AS), Jepang, dan Thailand di atas 2.000 jam dalam setahun. Sementara Indonesia berkisar 1.900 jam saja.

"Jadi, praktis setahun itu kita bekerja kurang dari 1.900 jam. Negara lain seperti Amerika, bisa sampai 2.000 jam lebih dalam setahun. Bayangkan kalau libur kita lebih banyak, berapa jam kerja yang hilang. Di negara lain itu, jam kerjanya yang dipastikan. Kalau di kita 'kan hari libur saja yang dipastikan (fix). Sampai tiga menteri pula yang tanda tangan. Tapi soal hari kerja, sepertinya tidak ada menteri yang peduli soal jumlah hari kerja," paparnya.




(des/des)
Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Hide Ads