Dunia Harus Tahu, Penyandang Disabilitas Bosan Dengar Lagu Jual Kesedihan

Dunia Harus Tahu, Penyandang Disabilitas Bosan Dengar Lagu Jual Kesedihan

Oktavian Balang - detikKalimantan
Sabtu, 06 Des 2025 08:00 WIB
Bagi Muhammad Yosta Novthami, disabilitas bukanlah alasan untuk menjual kesedihan. Ketua Perkumpulan Penyandang Disabilitas Indonesia (PPDI) Kota Tarakan ini menolak lagu-lagu sendu di acara difabel.
Muhammad Yosta Novthami/Foto: Istimewa
Tarakan -

Bagi Muhammad Yosta Novthami, disabilitas bukanlah alasan untuk menjual kesedihan. Ketua Perkumpulan Penyandang Disabilitas Indonesia (PPDI) Kota Tarakan ini menolak lagu-lagu sendu di acara difabel.

"Kami tak butuh dikasihani, kami butuh skill yang diadu," terangnya kepada detikKalimantan di Tarakan. Kamis (4/11/2025) malam.

Yosta tidak lahir dengan tongkat di tangannya. Ia tumbuh sebagai anak laki-laki Tarakan pada umumnya, gila bola, berlari kencang, dan menghabiskan sore di lapangan tenis.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Namun, hidup punya skenarionya sendiri. Ketika kondisi fisiknya berubah dan ia harus bergantung pada alat bantu, dunia di sekelilingnya bersiap untuk merasa iba. Tapi Yosta menolaknya.

Inspirasinya bukan datang dari motivator seminar mahal, melainkan dari komik Naruto yang ia baca sejak SMA. Ia teringat kata-kata Kakashi Hatake, sang guru bermasker itu.

"Kita mungkin bukan orang yang beruntung, tapi kita bukan yang terburuk." kenangnya, saat menggunakan baju fans klub milanisti indonesia.

Kalimat itu menempel di kepala Yosta, menjadi mantra yang lebih ampuh daripada ribuan kata motivasi. Bagi Yosta, menjadi penyandang disabilitas bukanlah akhir dunia, melainkan hanya perubahan mode permainan.

Sikap anti-manja Yosta bukan sekadar slogan, melainkan teruji di dunia kerja yang keras. Saat ini, Yosta adalah tulang punggung kreatif di sebuah media di Tarakan. Bukan setahun dua tahun, ia sudah mengabdi di sana selama kurang lebih 12 hingga 13 tahun.

Kesalahan Terbesar Orang Sekitar

Yosta menilai kesalahan terbesar orang-orang bahkan keluarga terdekat saat menghadapi anggota keluarga yang tiba-tiba menjadi disabilitas adalah perubahan sikap yang drastis. Ada yang menjadi terlalu protektif, ada pula yang menganggap si difabel sebagai barang pecah belah.

Yosta beruntung, orang tuanya tidak terjebak dalam drama itu. "Aku nggak pernah dilarang ke mana-mana. Bebas aja," cerita Yosta.

Keluarganya tetap melihatnya sebagai Yosta yang sama. Yosta yang dulu main bola, sekarang mungkin hanya menonton.

Tapi esensinya sama. Tidak ada larangan kuliah, tidak ada larangan bepergian. Bahkan, Yosta sering nekat bepergian sendirian ke Tanjung Selor, naik speedboat, tanpa pendamping.

Bagi Muhammad Yosta Novthami, disabilitas bukanlah alasan untuk menjual kesedihan. Ketua Perkumpulan Penyandang Disabilitas Indonesia (PPDI) Kota Tarakan ini menolak lagu-lagu sendu di acara difabel.Muhammad Yosta Novthami main pingpong/ Foto: Istimewa

Bagi orang awam, melihat pria bertongkat menuruni tangga dermaga yang licin mungkin memicu kepanikan. Tapi bagi Yosta, itu soal kalkulasi, bukan kenekatan buta.

"Aku tahu kapasitasku sendiri. Aku riset dulu. Kalau licin, aku geser. Kalau benar-benar nggak bisa, baru minta tolong. Sesimpel itu. Jangan jadi orang kecil," ujarnya tegas.

Yosta menolak dikerdilkan oleh keadaan. Ia sadar, begitu ia membiarkan dirinya diperlakukan spesial secara berlebihan, saat itulah kemandiriannya mati.

Tubuhnya mungkin terbatas, tapi muscle memory seorang atlet tidak pernah bohong. Yosta masih memegang raket bulu tangkis, masih memukul bola pingpong, bahkan masih melakukan rally panjang.

"Kalau mau ayo. Skill boleh diadu," tantangnya.

Ia bahkan pernah menjadi pundit komentator sepak bola untuk Piala Dunia di media lokal. Namun, realitas sosial seringkali tidak sejalan dengan semangat Yosta.

Bosan Dengar Lagu-lagu di Peringatan Hari Disabilitas

Sebagai Ketua PPDI Kota Tarakan, ia sering merasa jengah dengan bagaimana masyarakat, dan bahkan komunitas disabilitas itu sendiri memandang diri mereka. Dalam setiap peringatan Hari Disabilitas atau acara sosial, playlist-nya seolah sudah dikunci seperti, Jangan Menyerah dari D'Masiv atau lagu-lagu Laskar Pelangi yang mendayu-dayu.

"Bosan aku. Kenapa lagunya itu-itu terus? Menjual kesedihan. Padahal teman-teman (disabilitas) itu suaranya bagus. Bisa kok mereka nyanyi November Rain atau lagu up-beat lainnya," kritik Yosta.

Baginya, ini adalah bentuk romantisasi kesedihan yang berbahaya. Ketika disabilitas dijual sebagai objek kasihan, masyarakat akan terus memberi ikan, bukan kail. Dan parahnya, banyak penyandang disabilitas yang akhirnya nyaman dengan posisi 'objek derita' ini karena mendatangkan bantuan instan.

Yosta menghadapi dilema besar sebagai ketua. Di satu sisi, ia ingin anggotanya mandiri. Di sisi lain, ia melihat pola di mana pemerintah dan donatur terbiasa 'menyuap' disabilitas dengan bantuan sosial, yang justru mematikan daya juang.

"Teman-teman itu sudah terbiasa disuap. Jadi dilema, aku mau mereka mandiri, tapi mereka sudah nyaman dikasihani," ungkapnya blak-blakan.

Kritik Yosta menukik lebih tajam ke konsep inklusivitas. Seringkali, acara inklusi justru menjadi ajang eksklusif di mana difabel hanya berkumpul dengan sesama difabel, terpisah dari masyarakat umum.

"Keluar dari zona itu!" serunya.

Ia mendorong anggotanya untuk nongkrong di kafe biasa, bergaul dengan orang non-disabilitas, dan masuk ke circle pertemanan yang lebih luas.

"Jangan cuma ngumpul di situ-situ aja," terangnya.

Tuli, Bukan Tuna Rungu

Di ujung percakapan, Yosta menyentuh soal terminologi. Bagaimana dunia harus memanggil mereka.

Ia mencontohkan komunitas Tuli. Bagi orang awam, kata 'tuli' terdengar kasar, sehingga orang lebih memilih eufemisme 'tuna rungu'. Padahal, komunitas tersebut lebih bangga disebut tuli. Itu identitas budaya, bukan sekadar kerusakan organ pendengaran.

"Penghalusan kata itu kadang nggak perlu. Biarkan saja apa adanya," katanya.

Halaman 2 dari 4


Simak Video "Video: Pemerintah Ingin Ubah Paradigma Pendidikan bagi Pelajar Disabilitas"
[Gambas:Video 20detik]
(sun/des)
Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Hide Ads