Asa Siswa SMP di Perbatasan, Pergi Bersekolah Tanpa Gedung Sekolah

Asa Siswa SMP di Perbatasan, Pergi Bersekolah Tanpa Gedung Sekolah

Oktavian Balang - detikKalimantan
Jumat, 28 Nov 2025 06:01 WIB
Personel Pamtas melatih PBB anak-anak SMPN 1 Lumbis Pansiangan. (Istimewa)
Foto: Personel Pamtas melatih PBB anak-anak SMPN 1 Lumbis Pansiangan. (Istimewa)
Nunukan -

SMP Negeri 1 Lumbis Pansiangan tak punya gedung sekolah. 36 siswanya pernah menggunakan Balai Adat Desa Ngawol jadi tempat belajar.

Kegiatan belajar mengajar (KBM) dimulai dari Balai Adat desa di Kecamatan Lumbis Pansiangan, Kalimantan Utara (Kaltara) itu. Ruang yang sejatinya diperuntukkan bagi musyawarah warga, disulap seadanya menjadi ruang kelas.

Ironi ini masih dirasakan para siswa di perbatasan Kaltara. Tidak ada gedung megah, tidak ada papan nama yang berdiri kokoh di halaman sendiri. Namun semangat para pengajar dan siswa tak pernah padam.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Dua tahun sudah Iyon mengajar sebagai guru IPA di SMPN 1 Lumbis Pansiangan. Setelah sebelumnya mereka pernah menumpang di Balai Desa, kini mereka pindah menumpang di gedung Kecamatan Lumbis Pansiangan, Kalimantan Utara (Kaltara). Masih tetap bukan gedung sekolah sendiri.

"Kalau di Balai Desa ada acara pernikahan adat atau acara 100 hari orang meninggal, sekolah otomatis libur. Kami harus mengalah," kata Iyon.

Saat gong pesta adat berbunyi, saat itu jadi jam pulang bagi para siswa. Agar KBM lebih kondusif, mereka kini tak lagi di Balai Adat, namun nasibnya juga tak jauh lebih baik.

Foto kegiatan belajar SMPN 1 Lumbis Pansiangan di Balai Adat. (Istimewa)Foto kegiatan belajar SMPN 1 Lumbis Pansiangan di Balai Adat. (Istimewa)

Para siswa SMP ini menggunakan sebagian wilayah gedung SD tetangga. Keterbatasan ruang memaksa mereka berimpitan. Dari bangunan SD tersebut, hanya tersisa dua petak ruangan yang bisa dipinjam. Itu pun harus disekat seadanya.

Satu sisi untuk Kelas 7, sisi lain untuk Kelas 8. Suara guru yang menerangkan di balik sekat triplek sering kali beradu, memecah konsentrasi siswa yang sedang berjuang memahami materi.

Tembok sekolah yang tak layak hanyalah satu dari sekian lapis tembok penghalang bagi siswa di Lumbis Pansiangan. Di dalam kelas yang sempit itu, para siswa juga bertarung melawan keterbatasan literasi dasar.

Mayoritas siswa di sana pasif berbahasa Indonesia. Interaksi sehari-hari yang didominasi bahasa daerah membuat transfer ilmu pengetahuan yang buku paketnya berbahasa Indonesia menjadi tersendat.

Iyon mengaku harus bekerja dua kali lebih keras. Ia harus menerjemahkan bahasa, baru kemudian menanamkan konsep pelajaran.

Tantangan tak berhenti di situ. Kesadaran akan pentingnya pendidikan di kalangan orang tua masih menjadi barang mewah. Sering kali bangku-bangku di kelas tumpangan itu kosong, karena anak dibawa orang tuanya masuk ke hutan atau ladang.

"Anak sering diajak ke ladang atau acara adat berhari-hari, membuat mereka tertinggal pelajaran," tutur Iyon.

Bagi sebagian orang tua di sana, tenaga anak di ladang kerap dinilai lebih bernilai daripada investasi ilmu untuk masa depan.

Wilayah yang terisolasi juga menjadi kendala melaksanakan KBM. Desa Ngawol bukanlah tempat yang ramah bagi mereka yang tak punya nyali.

Untuk sekadar memenuhi kebutuhan dasar operasional sekolah atau logistik guru agar bisa tetap mengajar, mereka harus bertaruh nyawa menyusuri sungai menuju Mansalong.

Tidak ada jalan aspal mulus. Pilihannya hanya perahu yang membelah arus sungai selama 4 jam perjalanan. Itu pun jika alam sedang bersahabat.

"Jika air pasang, arus terlalu deras dan berbahaya. Jika air surut, perahu kandas tidak bisa lewat. Kami harus menunggu air sedang," tutur Iyon.

Kondisi geografis yang ekstrem ini membuat distribusi buku, alat tulis, hingga kehadiran guru sering kali terlambat. Siswa lagi-lagi menjadi korban dari infrastruktur yang tak tersentuh pembangunan.

Kekurangan tenaga pengajar adalah cerita lama yang tak kunjung usai. Dengan medan seberat itu, tak banyak guru yang bertahan. Akibatnya, ruang kelas sering kosong tanpa pembimbing.

Guru dan siswa berfoto di ruang belajar SMP yang menumpang gedung milik SD. (Istimewa)Guru dan siswa berfoto di ruang belajar SMP yang menumpang gedung milik SD. (Istimewa)

Kekosongan ini kerap diisi oleh personel Satgas Pamtas (Pengamanan Perbatasan) dari pos Labang. Seragam loreng masuk ke ruang kelas bukan untuk perang, tapi untuk mengajar Baris-berbaris (PBB) atau mata pelajaran umum lainnya. Kehadiran tentara di depan kelas adalah bukti nyata daruratnya kekurangan SDM pendidikan di wilayah ini.

Di tengah himpitan fasilitas yang nol, listrik yang mengandalkan genset, dan sinyal internet yang juga 'numpang' Starlink milik SD sebelah, para siswa ini tetap datang. Meski dengan seragam lusuh dan tanpa alas kaki yang layak, mereka mencoba merajut masa depan.

Iyon dan rekan-rekan gurunya hanya memiliki satu harapan sederhana yang seharusnya menjadi hak dasar setiap anak bangsa, yakni sebuah gedung sekolah.

"Kami memohon agar lebih diperhatikan. Kami butuh gedung sekolah yang layak. Berikanlah kami fasilitas agar anak-anak perbatasan ini punya masa depan," harap Iyon.

Sampai gedung itu berdiri, siswa-siswi SMPN 1 Lumbis Pansiangan akan terus menjadi 'pengungsi' pendidikan di tanah kelahirannya sendiri.




(aau/aau)
Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Hide Ads