Balada Guru Fisika Satu-satunya Terikat Satu Pertanyaan Siswa-siswanya

Balada Guru Fisika Satu-satunya Terikat Satu Pertanyaan Siswa-siswanya

Oktavian Balang - detikKalimantan
Rabu, 26 Nov 2025 00:06 WIB
Arman Saputra, guru Fisika di SMAN 10 Malinau.
Arman Saputra, guru Fisika di SMAN 10 Malinau/Foto: Istimewa
Malinau -

Dalam upacara peringatan Hari Guru Nasional, Selasa (25/11/2025) di Kecamatan Bahau Hulu, Kabupaten Malinau, berdiri Arman Saputra. Kulitnya mungkin sudah akrab dengan matahari Kalimantan, tapi logatnya masih menyisakan jejak Sulawesi Selatan.

Ia adalah guru Fisika di SMAN 10 Malinau. Sudah 11 tahun Arman berdiri di sana. Sebelas tahun pula ia memeluk sepi terpisah ribuan kilometer dari istri dan dua anaknya, demi sebuah pertanyaan polos dari murid-muridnya seperti 'Pak, kalau Bapak pindah, siapa yang mengajar kami Fisika?'

Tarik mundur ke 2013. Arman, pemuda asli Kabupaten Sinjai, Sulawesi Selatan, baru saja lulus kuliah. Semangatnya berapi-api, namun lowongan di kampung halamannya nihil. Mata Arman tertuju pada peta internet. Ada formasi CPNS di Kalimantan Utara. Dalam bayangannya, Kalimantan adalah satu pulau besar yang daratannya saling terhubung.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Pikiran saya waktu itu naif. Saya pikir semua bisa diakses lewat darat," kenang Arman saat berbincang dengan detikKalimantan. Selasa (25/11/2025).

Dengan modal nekat keluar dari zona nyaman, ia mendaftar. Takdir membawanya lulus di tahun 2014. Namun, saat melapor ke Dinas Pendidikan, kenyataan menghantamnya. Petugas dinas bahkan sempat bingung di mana letak Bahau Hulu.

"Ternyata prediksi saya salah total. Di Malinau justru paling banyak daerah blank spot dan terpencilnya," ujarnya.

Tak ada jalan darat. Akses satu-satunya adalah sungai yang menuntut nyawa, atau pesawat perintis yang kursinya harus diperebutkan bak undian lotre. Namun, nasi sudah menjadi bubur. SK sudah di tangan, dan Arman memilih menjalaninya.

Bertahan Hidup di Bahau Hulu

Bertahan hidup di Bahau Hulu bukan soal mengajar saja, tapi soal matematika ekonomi yang rumit. Arman harus berdamai dengan harga bensin eceran Rp 25.000 per liter dan sebutir telur seharga Rp 5.000.

Biaya hidup di sini 200 hingga 300 persen lebih mahal dari kota. Ironisnya, Tunjangan Perbaikan Penghasilan (TPP) yang ia terima hanya selisih 1-1,5 persen dibanding rekan-rekannya yang mengajar nyaman di kota.

"Kalau dibilang cukup, ya harus dicukup-cukupkan dan disyukuri. Tapi kalau bicara keadilan, rasanya kurang sesuai," tuturnya.

Kondisi ini memaksanya mengambil keputusan terberat, yakni meninggalkan keluarga. Membawa istri ke pedalaman ini adalah tindakan nekat secara finansial. Biaya hidup tinggi, akses makanan halal yang kadang sulit, dan fasilitas kesehatan yang minim, membuatnya memilih menjalani Long Distance Marriage (LDM) yang ekstrem. Arman hanya bertemu istri dan anak-anaknya sekali dalam setahun.

"Biasanya pas libur kenaikan kelas di bulan Juni, baru saya ambil cuti tahunan dan pulang," katanya.

Ongkos pulang kampung bukan main-main. Jika gagal dapat tiket pesawat subsidi, ia harus menempuh jalur sungai ke Tanjung Selor. Biayanya bisa tembus Rp 2 juta hingga Rp 5 juta sekali jalan, dengan waktu tempuh 3 hari sampai seminggu, bertaruh nyawa melewati jeram.

Jarak itu menyisakan luka. Enam tahun pertama pernikahannya, Arman dan istri tak kunjung dikaruniai anak. Pertengkaran-pertengkaran kecil akibat jarak sering mewarnai rumah tangganya.

"Sangat berat. Jauh dari anak istri itu sering jadi pemicu konflik. Tapi ini tanggung jawab moral. Saya guru, saya punya beban untuk anak-anak di perbatasan ini," ucap Arman.

Kini, ia sudah memiliki dua anak. Namun, ia tetaplah ayah yang hadir setahun sekali.

Arman Satu-satunya Guru Fisika

Di SMAN 10 Malinau, Arman adalah satu-satunya guru Fisika sejak sekolah itu berdiri. Selama 11 tahun, ia mengajar di tengah keterbatasan yang memprihatinkan. Gedung sekolah permanen hanya ada tiga Ruang Kelas Baru (RKB). Padahal kebutuhan operasional jauh di atas itu.

"Kami butuh ruang belajar, kantor, ruang kepsek, perpustakaan, lab, dan TU. Akhirnya kami akali, ruangan disekat-sekat jadi enam bagian," ceritanya.

Masyarakat setempat, yang iba melihat kondisi sekolah, berswadaya membangun gedung kayu tambahan. Jangan tanya soal laboratorium komputer canggih. Saat Asesmen Nasional atau tes berbasis komputer digelar, para guru harus meminjam laptop pribadi milik warga atau rekan sejawat agar siswa bisa ujian.

Listrik? Mereka bergantung pada PLTMH desa yang nyalanya 'mood-mood-an' mengikuti debit air sungai. Internet sempat membaik berkat bantuan Starlink dari Kominfo, tapi badai baru saja merusaknya. Kini, mereka kembali ke sinyal seluler 2G yang merayap lambat.

"Seringkali siswa kami gagal ikut lomba di kota, baik olahraga atau akademik. Bukan karena mereka bodoh, tapi karena akses tidak memungkinkan," keluh Arman.

Seringkali, ia merasa dianaktirikan. Kebijakan pendidikan dari pusat sering dipukul rata, seolah-olah fasilitas di Bahau Hulu sama dengan di Jakarta.

"Kami kadang merasa tidak dianggap ada. Kebijakan dipaksakan, padahal sarpras kami nol," tegasnya.

Arman Saputra, guru Fisika di SMAN 10 Malinau.Siswi di SMAN 10 Malinau belajar fisika. Foto: Istimewa

Kalau Bapak Pindah, Siapa yang Ajar Fisika?

Lantas, apa yang membuat Arman bertahan selama lebih dari satu dekade? Jawabannya ada pada kehangatan warga Bahau Hulu. Meski seorang pendatang, Arman dianggap seperti anak kandung oleh masyarakat setempat.

Ia tinggal menumpang di rumah dinas SMP karena SMAN 10 tak punya rumah dinas guru, namun tak pernah sekalipun ia merasa diusir. Dan di atas segalanya, ada tatapan mata murid-muridnya.

Banyak rekan seangkatannya yang sudah angkat kaki, mengajukan mutasi karena tak kuat dengan akses dan biaya hidup. Tapi setiap kali niat itu terlintas di benak Arman, suara murid-muridnya menahannya.

"Mereka sering bilang, 'kalau Bapak pindah, siapa yang ajar kami Fisika, Pak?'. Itu yang bikin berat. Sejak saya datang, belum ada guru Fisika lain di sini," ungkapnya.

Di Hari Guru ini, Arman tidak meminta gaji selangit. Permintaannya sederhana, setulus harapannya saat pertama kali menginjakkan kaki di tanah Borneo.

"Kami cuma minta bantuan laboratorium komputer lengkap, sumber listrik tenaga surya supaya tidak gelap gulita, dan alat praktikum Fisika. Itu saja," sebutnya.

Hingga bantuan itu datang, Arman akan tetap di sana. Mengajar Hukum Newton dan Relativitas di ruang kelas kayu yang disekat, sambil menghitung hari menuju bulan Juni saat ia bisa kembali memeluk anak dan istrinya.

Halaman 4 dari 4


Simak Video "Video Prabowo: Saya Merasa Ada Ikatan Batin dengan Guru"
[Gambas:Video 20detik]
(sun/des)
Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Hide Ads