Profil Tuan Guru Haji Abdurrasyid, Tokoh Pendidikan Islam Kalsel

Profil Tuan Guru Haji Abdurrasyid, Tokoh Pendidikan Islam Kalsel

Bayu Ardi Isnanto - detikKalimantan
Minggu, 23 Nov 2025 13:02 WIB
Pondok Pesantren Rasyidiyah Khalidiyah (Rakha) Amuntai, Hulu Sungai Utara, Kalimantan Selatan.
Pondok Pesantren Rasyidiyah Khalidiyah (Rakha) Amuntai, Hulu Sungai Utara, Kalimantan Selatan yang didirikan TGH Abdurrasyid. Foto: dok Ponpes Rakha
Hulu Sungai Utara -

Tuan Guru Haji (TGH) Abdurrasyid dikenal sebagai pendiri Pesantren Rasyidiyah Khalidiyah (Rakha) di Hulu Sungai Utara (HSU), Kalimantan Selatan. Beliau adalah salah satu tokoh penting dalam pembaharu yang memadukan tradisi keilmuan klasik dengan modern.

Abdurrasyid juga melahirkan kader-kader ulama, guru, dan pemimpin yang berpengaruh hingga ke berbagai wilayah Nusantara. Simak profil TGH Abdurrasyid berdasarkan penelitian di situs Universitas Airlangga dan UIN Antasari.

Latar Belakang dan Pendidikan

Abdurrasyid lahir pada tahun 1884 di Desa Pekapuran, Amuntai, HSU dari keluarga petani sederhana yang taat beragama. Ayahnya bernama Haji Ramli, dikenal dengan panggilan Haji Iram, dan ibunya bernama Khadijah. Sejak kecil ia sudah menunjukkan kecerdasan luar biasa, bahkan pada usia tujuh tahun telah berhasil menamatkan Al-Qur'an.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Semangat menuntut ilmu membawanya berguru kepada sejumlah ulama di berbagai daerah, seperti Tuan Guru H Ahmad di Sungai Banar, Tuan Guru H Muh Japeri di Sungai Pandan, Tuan Guru H Umar di Awang Padang, dan Tuan Guru H Abdurrahman di Pasungkan Nagara.

Pada tahun 1912, Abdurrasyid berangkat ke Mesir untuk melanjutkan pendidikan di Universitas Al-Azhar. Selama sepuluh tahun ia menimba ilmu hingga meraih Syahadah Al-Alamiyah Lil Ghurraba.

Kehidupan di Kairo penuh perjuangan. Ia bekerja di restoran, membantu penerbitan kitab berbahasa Arab-Melayu, bahkan menyusun kitab Parukunan yang diterbitkan di Mesir untuk menutupi biaya kuliah. Pengalaman panjang di Al-Azhar membentuknya menjadi ulama berwawasan luas dengan kemampuan manajemen dan organisasi yang baik.

Pada usia sekitar 20 tahun, Abdurrasyid menikah dengan Siti Fatimah, putri Abdurrahman Sidik dan Masayu, keluarga terpandang di masyarakat. Dari pernikahan ini lahirlah enam orang anak.

Perintis Pendidikan Islam Modern

Sekembalinya dari Mesir, Abdurrasyid mendirikan Pesantren Rasyidiyah Khalidiyah (RAKHA) di Amuntai. pada 12 Rabi'ul Awal 1341 H atau 13 Oktober 1922 M. Nama Rasyidiyah diambil dari namanya sendiri, sementara Khalidiyah berasal dari tokoh pembaharu Islam, Idham Khalid.

Ia memulai dengan membuka pengajian di rumah menggunakan sistem halaqah, di mana santri duduk melingkar mengelilingi guru. Namun karena jumlah santri yang terus bertambah, pengajian kemudian dipindahkan ke mushola di tepi Sungai Tabalong.

Di sinilah Abdurrasyid memperkenalkan sistem klasikal modern dengan meja, kursi, dan papan tulis. Ini merupakan suatu hal yang sangat baru di Kalimantan pada masa itu.

Langkah ini sempat dicurigai oleh pemerintah Hindia Belanda, tetapi lambat laun mendapat simpati masyarakat. Dukungan mengalir, dan jumlah santri terus meningkat.

Pada 1924 ia mendirikan langgar bertingkat dua, lalu pada tahun 1926 membangun gedung sekolah berbentuk "U" dengan enam lokal. Puncaknya, pada tahun 1928 ia memberi nama resmi Arabische School, dengan tujuan mencetak kader pendidik, guru agama, muballigh, dan pemimpin masyarakat.

Selama lima tahun pertama, Abdurrasyid mengajar sendiri seluruh kelas dengan sistem estafet, yakni santri senior diberi tugas mengajar kelas di bawahnya. Karena peran sentralnya, ia dijuluki Mu'allim Wahid atau guru utama.

Perkembangan Arabische School tidak lepas dari dukungan masyarakat Banjar yang memiliki tradisi kuat dalam pendidikan dan ibadah haji. Banyak dermawan mewakafkan harta untuk pembangunan sekolah.

Pergantian Kepemimpinan dan Akhir Hayat

Setelah lebih dari lima tahun memimpin Arabische School, pada tanggal 22 Agustus 1931 Abdurrasyid menyerahkan kepemimpinan pesantren kepada KH Juhri Sulaiman, seorang alumni Al-Azhar.

Namun, ia tidak berhenti berkiprah. Masyarakat Kandangan memintanya memimpin Madrasah Al Wathaniyah, dan dari sinilah lahir berbagai lembaga pendidikan Islam modern lainnya di Kalimantan Selatan.

Menjelang akhir 1933, kesehatan Abdurrasyid mulai menurun. Pada bulan Januari 1934 ia kembali ke Amuntai dalam keadaan sakit.

Tepat pada tanggal 4 Februari 1934 atau 19 Syawal 1353 H, beliau wafat di hadapan keluarga dan murid-muridnya. Jenazahnya dimakamkan di samping rumahnya di Desa Pekapuran, Amuntai.

Pesantren Rasyidiyah Khalidiyah (RAKHA) hingga kini tetap berdiri kokoh sebagai pusat pendidikan Islam. Ia dikenang sebagai pelopor modernisasi pendidikan Islam di Kalimantan Selatan, yang berani mengubah sistem halaqah tradisional menjadi sistem klasikal modern.

Sumber:

  • Laporan penelitian Universitas Airlangga berjudul Dari Tuan Guru Haji Abdurrasyid ke KH Idham Khalid: Kajian Tentang Pondok Pesantren Rasyidiah Khalidiyah Amuntaι Kalimantan Selatan oleh Sarkawi dan Samidi M Baskoro
  • Jurnal Tarbiyah Islamiyah, Volume 6, Nomor 2, Juli-Desember 2016 berjudul Sejarah Tokoh Pendidikan Islam di Kalimantan Selatan (Tuan Guru H Abdurrasyid, Tuan Guru H Mahfuz Amin, Prof Drs HM Asywadie Syukur, Lc Dan Kh. Muhammad Zaini Abdul Ghani) oleh Masrawiyah dari UIN Antasari.

Halaman 3 dari 3
(bai/aau)
Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Hide Ads