Cerita Ngantor Pakai Sepeda: Semahal Apapun Sepedaku, Aku Dibilang Miskin

Cerita Ngantor Pakai Sepeda: Semahal Apapun Sepedaku, Aku Dibilang Miskin

Oktavian Balang - detikKalimantan
Senin, 17 Nov 2025 09:41 WIB
Retno Sawitri Listyabratarini (44), seorang Aparatur Sipil Negara (ASN) di Bappeda & Litbang Pemprov Kaltara
Retno Sawitri Listyabratarini (44), seorang Aparatur Sipil Negara (ASN) di Bappeda & Litbang Pemprov Kaltara/Foto: Istimewa
Tanjung Selor -

Pagi itu, di Jalan Manunggal, Kelurahan Tanjung Selor Timur, Kecamatan Tanjung Selor, Kabupaten Bulungan, yang basah oleh embun, suara rantai sepeda terdengar seperti bisikan kecil yang nyaris kalah oleh deru motor. Namun dari tikungan, seorang perempuan berkacamata melaju mantap, ransel hitam menggantung ringan di punggungnya. Pedal yang ia injak tidak pernah terburu-buru, ritmenya seperti seseorang yang telah menyatu dengan perjalanan.

Di ibu kota Kalimantan Utara, rutinitas ini adalah sebuah keanehan. Sebuah pemandangan yang mengundang tatapan. Di tengah masifnya kampanye perubahan iklim dan ekonomi hijau, seorang PNS punya cara sendiri untuk menerjemahkannya. Tak sekadar wacana, ia melakukan 'pertobatan ekologis' dengan aksi nyata yakni menempuh 20 km setiap hari dengan bersepeda.

Ia adalah Retno Sawitri Listyabratarini (44), seorang Aparatur Sipil Negara (ASN) di Bappeda & Litbang Pemprov Kaltara. Baginya, mengayuh sepeda dari rumah ke kantor dan ke mana pun ia pergi bukan sekadar olahraga, melainkan sebuah komitmen untuk mengurangi jejak karbon.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Apa yang saya lakukan ini bukan sesuatu yang baru. Sebenarnya ini normal atau sudah umum dilakukan, cuman mungkin belum di sini," ujar Retno mengawali perbincangan dengan detikKalimantan, Minggu (16/11/2025).

Kecintaan Retno pada sepeda bukanlah hobi musiman. Jauh sebelum isu lingkungan jadi tren, ia sudah memimpikan gaya hidup praktis ala orang Eropa yang kerap ia tonton di film-film semasa remaja.

"Waktu itu aku tertarik sekali dengan kehidupan orang-orang di Eropa. Yang ke mana-mana pakai sepeda, pakai transportasi publik, tinggal di flat. Betapa kehidupan mereka itu praktis," kenangnya.

Kecintaannya pada sepeda pun bukan baru kemarin sore. Jauh sebelum menjadikannya alat mobilitas utama, Retno yang juga seorang pelari telah menggunakan sepeda sebagai cross training (olahraga pendukung) dari 2017 hingga 2019 untuk menunjang olahraga utamanya.

Impian masa ABG dan kebiasaan olahraganya itu menemukan momentum saat Retno mengambil studi S2 di UGM, Yogyakarta, pada 2019-2021. Di kota pelajar itu, ia sepenuhnya bermobilitas dengan jalan kaki dan bersepeda.

"Ketika sudah hampir kembali ke Tanjung Selor, saat itu aku putuskan salah satu kebiasaan baik dari tugas belajar itu yang inginku bawa adalah bermobilitas dengan menggunakan sepeda," tegasnya.

Keputusannya tak lantas berjalan mulus. Setibanya di Tanjung Selor, Retno berhadapan dengan tantangan budaya. Menggunakan sepeda untuk aktivitas harian, bukan sekadar olahraga akhir pekan, namun ternyata adalah pemandangan langka.

"Waktu itu aku agak kaget. Orang tuh ngelihatin. Kayak anak-anak sekolah yang dibonceng orang tuanya pagi hari itu, mereka tuh nengok sampai terpuntir leher ke belakang. Astaga kok segitu amat ya," tuturnya sambil tertawa.

Stigma Orang Tak Punya

Ia menyadari dirinya dianggap aneh. Bahkan, masyarakat kerap melontarkan stigma orang tak punya lantaran ke mana-mana menggunakan sepeda.

"Orang-orang kerap melontarkan pertanyaan kepada saya, 'enggak punya motor ka?' Dia bilang gitu. Jadi lebih ke arah orang sepedaan itu adalah, mohon maaf ya, orang miskin yang nggak punya kendaraan," ungkap Retno.

Tak hanya itu, ia juga dibanjiri pertanyaan teknis yang meremehkan. "Di dua tahun pertama itu aku banyak sekali menerima pertanyaan. Seperti, 'kamu mandi nggak kalau sampai di kantor? Entar kalau keringetan bagaimana? Entar kalau kehujanan bagaimana?" kenangnya.

"Jadi, ya, aku berusaha memakluminya karena mereka memang ya eggak ngerti. Sabar-sabar aja lah," imbuh Retno.

Perjuangannya melawan stigma itu sempat ia tuangkan dalam sebuah tulisan di akun Instagram-nya, merangkum pandangan iba yang kerap ia terima.

"Semahal apapun sepedaku, aku dibilang miskin. Sebagus apapun sepeda yang kupakai, aku dipandang penuh iba. Kasian, ke mana-mana sepedaan. Sebanyak apapun sepeda yang kumiliki, aku dibilang tidak punya kendaraan, dibilang punya kendala transportasi," ucapnya.

"Selihai apapun aku bersepeda, di jalan aku termarjinalkan. Harus mengalah atas arogansi pemilik kendaraan bermotor, harus minggir karena pesepeda dianggap tidak bayar pajak. Pesepeda. pejalan kaki, bukan prioritas. Harus siapkan dock sendiri untuk parkir aman. Sepeda ambruk, terjungkal kena senggol motor, salah sendiri pakai sepeda, ini parkiran motor," tambahnya.

Retno Sawitri Listyabratarini (44), seorang Aparatur Sipil Negara (ASN) di Bappeda & Litbang Pemprov KaltaraRetno Sawitri Listyabratarini (44)/ Foto: Istimewa

Tantangan Terbesar Konsisten Bersepeda

Bagi Retno, tantangan teknis seperti jarak, waktu, atau cuaca bukanlah halangan, melainkan sesuatu untuk disiasati. Dengan jarak rumah ke kantor 20 km sekali jalan, ia harus berangkat pukul 06.45 agar tak telat absensi pukul 07.30.

Tantangan terbesar yang ia sadari justru bukan fisik, melainkan mental. Sebelum berkomitmen penuh di Tanjung Selor, ia melakukan uji coba (trial) di Jawa, menyimulasikan jarak dan waktu yang sama selama lima hari berturut-turut.

"Di hari kelima itu, waktu mau mulai bersepeda, batinku udah kayak, aduh males banget nih, ngeliat sepeda aja kayaknya aku udah males gitu," kenangnya.

"Jadi aku sadari waktu itu, mentalku kena nih. Tantangan pertama sebenarnya ialah mentalku. Bagaimana cara mengatasi kebosanannya," imbuhnya.

Setelah memberi jeda istirahat mental, ia siap tempur di Tanjung Selor. Saat hujan, ia tak gentar. Modal jaket lightweight waterproof dan baju ganti di ransel sudah cukup. Bahkan untuk urusan teknis, ia sudah mandiri.

"Di dalam ranselku itu, ada ban dalem tuh yang aku bawa ke mana-mana. Untuk masalah ban itu, itu aku bisa bongkar pasang ban sendiri," jelasnya.

Untuk menunjang mobilitasnya, ia memiliki lima unit sepeda di rumah, termasuk satu yang dilengkapi keranjang untuk belanja.

"Semua sepedaku itu standar perjalanan malam dan standar perjalanan hujan," tegasnya.

Untuk malam hari, ia punya siasat sendiri. "Aku batasi sampai kurang lebih jam 10 lah. Karena biasanya ini yang jadi kendala itu anjing. Atau hewan-hewan yang dia suka muncul tiba-tiba," jelasnya.

Bike To Work Indonesia

Komitmennya juga tak goyah karena ia tak sendirian. Ia tergabung dalam komunitas nasional Bike To Work Indonesia. Dari grup inilah ia belajar banyak siasat, termasuk dari salah satu panutannya, seorang direktur OJK perempuan di Jakarta.

"Dia dari kantor ke tempat rapat, sudah full dress, pake sepatu high heels, pake batik yang cantik, dan itu pake sepeda," tuturnya.

"Dari sosok itulah ia belajar tips dan trik bagaimana tetap rapi meski bersepeda ke agenda resmi."

Komitmennya berbuah manis. Dari sisi kesehatan, Retno yang konsisten berolahraga mengaku jarang sekali sakit.

"Kalau terkena Flu, itu atas izin Tuhan jarang. Jadi aku jarang banget kena flu, sakit, demam. Terus dia mengunci berat badan. Jadi berat badan itu tetap ideal di 54 kg. Aku nggak ada pantangan makan apapun," bebernya.

Dari sisi finansial, penghematannya sangat signifikan. "Bensin itu satu tangki full Rp 40 ribu paling nggak habis satu bulan. Saya pakai sepeda motor cuma untuk beli galon sama gas aja," katanya.

Lebih dari itu, bersepeda menjadi terapi mentalnya. "Itu biasanya momen untuk aku tuh ngomong sama diriku sendiri. Jadi salah satu cara untuk mengurai keruwetan hidup. Kadang kalau lagi jengkel, gitu, sambil sepeda, tuh, ya, sambil ngomel sendiri, kadang kalau sedih, tuh, sambil nangis sendiri," akunya.

Sebagai PNS Bappeda di bidang prasarana dan pengembangan wilayah, dengan latar belakang S1 Teknik Planologi dan S2 Magister Administrasi Publik, Retno sadar betul apa yang dilakukannya sejalan dengan isu transportasi hijau. Namun, ia justru memberikan pandangan kritis. Ia mengaku masih pro dan kontra dengan kebijakan elektrifikasi (motor dan mobil listrik).

"Karena itu melibatkan biaya yang cukup besar, terus kemudian ada dampak lingkungan ikutan, yang hingga saat ini aku masih belum bisa sepakat," jelasnya.

Retno Sawitri Listyabratarini (44), seorang Aparatur Sipil Negara (ASN) di Bappeda & Litbang Pemprov KaltaraRetno Sawitri Listyabratarini (44)/ Foto: Istimewa

Menurutnya, solusi yang lebih berdampak justru dimulai dari hal kecil. "Ayolah kita dalam mengurangi climate change ini, kita pakai dari hal yang kita bisa dulu. Mulai dengan kita mengurangi penggunaan plastik. Aku yakin dari hal kecil itu lebih berdampak ketimbang melakukan suatu yang besar tapi nggak berkelanjutan," terangnya.

Baginya, semua ini adalah bentuk tanggung jawab. Ia melihat apa yang dilakukannya sebagai cara bertobat atas dosa-dosa manusia terhadap alam.

"Bermobilitas dengan sepeda ini adalah salah satu bentuk pertobatan lingkungan atas dosa-dosa besar aku sebagai manusia terhadap alam," katanya dengan nada reflektif.

"Nggak usah mikir sesuatu yang muluk-muluk untuk merubah lingkungan. Cukup dari keseharian kita yang kita lakukan secara terus-menerus. Cukup memilah aktivitas yang bisa digantikan dengan sepeda, pakai aja sepeda," pungkasnya.

Halaman 2 dari 4


Simak Video "Video: Pangdam Mulawarman Bicara Penyebab Anggota TNI Serang Mapolres Tarakan"
[Gambas:Video 20detik]
(sun/des)
Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Hide Ads