Curhat Camat di Perbatasan Malaysia, demi Sembako Harus 'Mengemis' ke Petugas

Curhat Camat di Perbatasan Malaysia, demi Sembako Harus 'Mengemis' ke Petugas

Oktavian Balang - detikKalimantan
Kamis, 13 Nov 2025 07:01 WIB
Kecamatan Krayan, Kabupaten Nunukan, Kalimantan Utara dari udara.
Kecamatan Krayan, Kabupaten Nunukan, Kalimantan Utara dari udara. Foto: Oktavian Balang/detikKalimantan
Nunukan -

Pengakuan ironis datang dari Camat Krayan Induk, Roni Firdaus. Ia secara terbuka mengungkap kerasnya realitas kehidupan di perbatasan Indonesia-Malaysia, Nunukan, Kalimantan Utara.

Demi urusan perut dan kebutuhan pokok masyarakat, ia mengaku terpaksa harus 'mengemis' alias minta belas kasihan kepada aparat Malaysia hampir setiap hari. Sebab dia harus terus-menerus melobi petugas imigrasi, Polis Diraja Malaysia (PDRM), hingga custom (bea cukai).

Tujuannya agar warga Krayan tidak dipersulit saat membawa kebutuhan pokok dari negara tetangga, mulai dari gula, minyak goreng, hingga material bangunan seperti semen, seng, dan paku.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Kita selalu dengung-dengungkan bahwa nasionalis kita tidak bisa diganggu gugat.
Tapi, soal perut terpaksa mengemis ke negara sebelah," tegas Roni kepada detikKalimantan melalui panggilan telepon.

Roni menjelaskan, lobi-lobi itu harus dilakukan karena warga Krayan sering melanggar aturan perdagangan lintas batas Sosek Malindo. Aturan itu hanya membatasi warga berbelanja senilai RM 600, padahal kebutuhan warga lebih dari itu.

"Dalam aturan yang berlaku, belanja di Malaysia dibatasi RM 600 atau senilai Rp 2,430 juta. Sementara, dalam satu mobil, barang keperluan yang dibawa untuk ke Indonesia sudah melebihi peraturan yang ditetapkan," ungkapnya

Menurut Roni, dalam kondisi tersebutlah peran mengemis itu harus ia jalankan sebagai camat.

"Ya di situlah tugas saya, datang ke pos Malaysia lalu mengemis. Kalau semua bahan dagangan disita semua, lantas siapa yang menyediakan kebutuhan barang pokok warga lainnya. Mengemis kan itu'," tuturnya.

"Jatuh dong harga diri, marwah kita sebagai beranda NKRI jatuh," keluh Roni.

Ia pun mempertanyakan apakah pemerintah Indonesia dapat menyediakan kebutuhan pokok bagi warga perbatasan/.

"Kalau saya tidak datang memohon kepada petugas Malaysia, sudah pasti mereka akan menyita barang keperluan masyarakat. Sekarang pertanyaannya, Indonesia mampu enggak datangkan kebutuhan untuk masyarakat," jawabnya.

Ketergantungan Kecamatan Krayan pada Malaysia sudah bukan rahasia lagi. Ia menyebut angkanya sudah mencapai 100 persen untuk kebutuhan pokok dan material.

"Saya sering keliling-keliling toko ini, coba lihat di toko itu, barang siapa itu. Sudah pasti 100 persen dari Malaysia," paparnya.

"Yang datang dari Indonesia itu cuma rokok, cuma kopi. Barang yang ringan-ringan aja," sambungnya.

Ia mencontohkan harga semen. Jika didatangkan dari Indonesia melalui Tarakan, harganya menjadi tidak masuk akal karena tingginya biaya angkut pesawat.

"Harga di Tarakan itu berapa semen? Rp 80.000? Kalau dibawa ke Krayan? Dengan ongkos pesawat Rp 15.000 (per kg), kali aja 50 kg. Satu jutaan lebih," jelasnya.

Ironisnya, lanjut Roni, pembangunan di Krayan sejak dulu, termasuk proyek pemerintah seperti aspal jalan, juga menggunakan material yang didatangkan dari Malaysia.

Halaman 2 dari 2
(bai/bai)
Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Hide Ads