80 tahun lalu tepatnya 10 November 1945, pekikan 'Merdeka atau Mati' bergema di Surabaya, Jawa Timur. Kala itu datang pasukan sekutu dan Belanda untuk menjemput tentara Jepang yang kalah dalam Perang Dunia kedua.
Hal ini mengancam Indonesia yang baru saja menyatakan kemerdekaannya. Dengan penuh perjuangan, mantan pasukan anggota Pembela Tanah Air yang dibentuk oleh Pasukan Jepang dan Polisi Istimewa Hindia Belanda mencegah kedatangan pasukan sekutu.
Bagaimana hingga akhirnya pertempuran bisa pecah di kota yang dijuluki Kota Pahlawan itu?
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Mengenang Jejak Pertempuran Surabaya
Ilustrasi Pertempuran Surabaya 10 November. Foto: Edi Wahyono/detikcom |
Dirangkum dari buku Modul Pembelajaran SMA Sejarah Indonesia karya Alin Rizkiyan Putra S Pd dan laman Kemdikbud, setelah kekalahan Jepang pada Perang Dunia ke-2, Kekaisaran Jepang dan sekutu menandatangani perjanjian di kapal USS Missouri di Teluk Tokyo. Perjanjian ini menghasilkan dokumen Kapitulasi Jepang yang berisi penyerahan tanpa syarat kepada sekutu.
Kemudian Jepang secara resmi menandai berakhirnya perang dunia ke-2. Setelah dokumen ini disahkan, Kerajaan Inggris sebagai salah satu pihak sekutu ditugaskan untuk melucuti dan menjemput tentara Jepang yang tersisa di Indonesia untuk diadili sebagai penjahat perang.
Jepang menyerah tanpa syarat kepada sekutu di Perang Pasifik yang mendarat di kota Surabaya. Sekutu terdiri dari pasukan Kekaisaran Britania dengan sukarelawan Persemakmuran Britania yakni Angkatan Darat India Britania dengan mendapatkan dukungan khusus oleh tentara Kekaisaran Belanda.
Misi penjemputan oleh Inggris ini kemudian diikuti oleh Belanda yang merupakan bagian dari pihak sekutu. Keduanya telah melakukan perjanjian berupa Civil Affairs Agreement pada 24 Agustus 1945 yang mengatur penyerahan kembali Indonesia dari pihak Inggris kepada pihak Belanda.
Atas perjanjian tersebut, pasukan sekutu di bawah pimpinan Inggris kemudian membawa Nederlandsch Indische Civil Administratie (NICA), yakni pemerintahan sipil yang dibentuk oleh Belanda untuk menjemput tentara Jepang.
Kehadiran Belanda ke Indonesia ini kemudian dinilai sebagai ancaman oleh bangsa Indonesia. Rakyat Indonesia memandang kedatangan sekutu dan NICA sebagai upaya Belanda untuk merebut kembali wilayah Indonesia yang baru saja merdeka. Hal ini karena Kerajaan Belanda masih belum mengakui kemerdekaan Indonesia saat itu.
Kala Tentara Sekutu Datang ke Indonesia
Refleksi Penyobekan Bendera Belanda di Hotel Yamato. Foto: Zainal Effendi |
Tentara Inggris mendarat di Surabaya pada 25 Oktober 1945. Mereka termasuk dalam kelompok sekutu atau Allied Forces Netherlands East Indies (AFNEI). Pihak Netherlands Indies Civil Administration (NICA) juga ikut membonceng dan tiba di Surabaya.
Pasukan sekutu yang dipimpin oleh Brigadir Inggris bernama Aubertin Walter Sothern Mallaby melakukan pendaratan di Surabaya. Brigadir Mallaby setidaknya membawa sekitar 5.000 tentara sekutu ke Indonesia.
Kedatangan pasukan sekutu dan NICA ke Surabaya kemudian menimbulkan penolakan dari rakyat Indonesia. Pertempuran di kota tersebut menjadi simbol nasional perlawanan Indonesia atas kolonialisme.
Ini adalah peperangan pertama Indonesia dengan pasukan asing setelah proklamasi. Perlawanan itu juga disebut sebagai yang terbesar dan terberat dalam sejarah revolusi nasional.
Gencatan senjata dari pihak Inggris dan Indonesia ditandatangani pada 29 Oktober 1945 dan keadaan berangsur reda. Namun, bentrokan tetap terjadi di Surabaya. Ini terjadi terutama di Hotel Yamato.
Di tempat tersebut, tentara Belanda mengibarkan bendera Belanda di puncak Hotel Yamato. Akibatnya, penduduk Surabaya memanas.
Perwakilan dari rakyat Surabaya, Residen Soedirman bersama Sidik dan hariyono bertemu tentara Belanda WVC di Hotel Yamato. Mereka meminta pihak lawan menurunkan Benderanya.
Belanda yang menolak dan bahkan mengancam dengan pistol menyebabkan perkelahian di lobi hotel. Sejak inilah bentrokan makin kerap terjadi. Puncak bentrok ditandai dengan terbunuhnya Jenderal Mallaby, pimpinan tentara Inggris untuk Jawa Timur, pada 30 Oktober.
Penolakan ini mengakibatkan terjadinya pemberontakan hingga menyebabkan terbunuhnya Brigadir Mallaby. Kematian itu menghasilkan kemarahan Inggris. Tewasnya Mallaby dalam mobilnya yang meledak jadi salah satu alasan bagi penggantinya, Mayjen EC Mansergh untuk mengeluarkan ultimatum pada 9 November 1945.
Ultimatum tersebut berisi ancaman bahwa Inggris akan menggempur Surabaya dari darat, laut, dan udara apabila orang-orang menaati instruksi Inggris. Indonesia harus menyerahkan senjata serta berhenti melawan tentara AFNEI dan administrasi NICA. Isinya juga tentang ancaman bahwa Kota Surabaya akan digempur dari darat, laut, dan udara jika Indonesia tidak mematuhinya.
Di samping itu, Inggris juga mengeluarkan perintah agar seluruh pimpinan bangsa Indonesia dan para pemuda Surabaya datang paling lambat 10 November 1945 pada jam 06.00 pagi di tempat yang ditentukan.
Semangat Perlawanan Membara dari Surabaya
Bung Tomo membacakan pidato Foto: Istimewa |
Ultimatum ini tidak diindahkan oleh masyarakat Surabaya. Rakyat Indonesia tidak menuruti ultimatum yang diberikan Inggris dan terus melawan untuk mempertahankan kemerdekaan.
Meletuslah pertempuran pada 10 November 1945 kurang lebih selama tiga minggu. Medan di Surabaya kemudian mendapat julukan 'neraka' karena banyaknya kerugian.
Bung Tomo (Sutomo) mendirikan Radio Pemberontakan untuk mengobarkan semangat juang arek-arek Surabaya. Ketika pertempuran di Surabaya, Bung Tomo berhasil memimpin kekuatan rakyat melalui pidato-pidatonya. Dalam pidatonya selalu dimulai dan diakhiri takbir Allahu Akbar.
Komandan Pertahanan Kota, Sungkono pada 9 November 1945 pukul 17.00 mengundang seluruh unsur kekuatan rakyat yang terdiri atas Komandan TKR, PRI, BPRI, Tentara Pelajar, BBI, PTKR, Polisi Istimewa, dan TKR Laut berkumpul di Markas Pregolan 4.
Kota Surabaya dibagi ke 3 Sektor Pertahanan meliputi sektor barat, tengah, dan timur. Sektor barat dipimpin Koenkiyat, sektor tengah dipimpin Kretaro dan Marhadi, lalu sektor timur dipimpin Kadim Prawirodiarjo.
Bung Tomo sendiri membakar semangat juang melalui radio. Setelah batas waktu ultimatum habis, kontak senjata pertama terjadi di Perak yang berlangsung hingga pukul 18.00. Inggris pun berhasil menguasai garis pertahanan pertama.
Gerakan pasukan Inggris juga disertai pemboman yang diperkirakan menyasar tempat pemusatan pemuda. Surabaya yang digempur oleh Inggris berhasil dipertahankan para pemuda selama hampir 3 minggu lamanya.
Pertempuran terakhir terjadi di Gunungsari pada 28 November 1945. Kendati begitu, perlawanan secara sporadis masih dilakukan. Markas pertahanan Surabaya dipindahkan ke Desa Lebani-Waras yang dikenal sebagai Markas Kali.
Surat kabar TIMES terbitan London 13-14 November 1945 memberitakan, "Perlawanan Indonesia di Surabaya dilaporkan semakin gigih. Pada hari Minggu malam wanita-wanita Indonesia ke luar dan menyelamatkan jenazah-jenazah kaum prianya."
Jenderal Mansergh hingga meminta tambahan 8 kapal terbang Thunderbolt, 4 Mosquito, 21 tank Sherman, dan sejumlah besar Carriers untuk menghadapi perlawanan rakyat Surabaya. Inggris mengaku rugi besar dalam pertempuran Surabaya.
Pertempuran di Surabaya itu pun menimbulkan amarah rakyat Indonesia di wilayah lainnya dan membakar semangat pertempuran di daerah-daerah lain. Akibatnya, terjadi peperangan antara rakyat Indonesia dan pasukan sekutu di Surabaya selama berhari-hari.
Pertempuran Surabaya menewaskan sekitar 20.000 rakyat Surabaya, dan sekitar 150.000 orang yang terpaksa mengungsi. Selain itu, sekitar 1.600 pasukan sekutu juga tewas, hilang, dan luka-luka serta puluhan alat perang rusak maupun hancur.
Untuk menghormati perjuangan rakyat Indonesia dalam mempertahankan kemerdekaan, pemerintah Indonesia kemudian menetapkan tanggal 10 November sebagai Hari Pahlawan Nasional pada 16 Desember 1959 melalui Keppres Nomor 316 Tahun 1959.
Dengan banyaknya pejuang yang gugur, rakyat menjadi korban, dan semangat tak kenal menyerah membuat Kota Surabaya disebut sebagai Kota Pahlawan. Inilah sejarahnya peristiwa 10 November dikenal sebagai Hari Pahlawan.



