Kementerian Kehutanan Republik Indonesia menjawab keluhan masyarakat adat di Malinau, Kalimantan Utara. Tenaga Ahli Menteri Kehutanan Bidang Konservasi Sumber Daya Alam, Mikhail Gorbachev Dom menuturkan bakal berupaya mendorong percepatan hutan adat dan menyelesaikan kendalanya.
Gorba, sapaannya, yang memimpin Satuan Tugas (Satgas) Percepatan Penetapan Status Hutan Adat di Malinau menyebut di tengah proses verifikasi 10 usulan hutan adat, masyarakat akan tetap jadi prioritas utama dalam penyelesaian tumpang tindih lahan, baik area konsesi maupun taman nasional.
"Arahan Menteri (Raja Juli Antoni) jelas, kita akan mengerjakan 1,4 juta hektare percepatan hutan adat selama lima tahun. Malinau ini kita kerjakan karena besarannya besar," ujar Gorba di Malinau, ditemui di Kantor Bupati Malinau, Senin (20/10/2025).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Ia menyebut bahwa timnya tidak datang hanya untuk mendinginkan suasana. KLHK berjanji bakal mencarikan solusi untuk rencana desa adat Malinau.
"Pak Menteri Raja Juli Antoni selalu bilang, keluhan itu bukan didengarkan untuk diadem-ademin, tapi didengarkan untuk dicek," kata Gorba.
Gorbachev mengaku adanya kompleksitas di lapangan, termasuk tumpang tindih dengan Taman Nasional Kayan Mentarang dan area konsesi. Ia menjelaskan, kementerian kini sedang menggodok solusi Satu Peta untuk menyatukan data antar-dirjen.
"Teman-teman perhutanan sosial dengan dirjen (pengelola) konsesi harus mempunyai satu dashboard yang sama, supaya petanya bisa di-overlapkan," jelasnya.
Saat ditanya bagaimana jika terjadi tumpang tindih, Gorbachev mengutip pernyataan Dirjen Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan (PSKL).
"Laksmi Wijayanti (Dirjen PSKL) bilang bahwa, jika memang ada masyarakat, masyarakat akan didahulukan. Sebenarnya ada skema dari PBPH (Perizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan) yang namanya kemitraan konsesi. Itu bisa jadi jalan keluar. Solusi untuk itu ada," kata dia.
Pandangan serupa disampaikan anggota tim verifikasi dari akademisi Institut Pertanian Bogor (IPB), DrSoeryo Adiwibowo, MS. Ia membenarkan bahwa tumpang tindih wilayah adalah fakta yang harus dihadapi.
"Hal tersebut adalah fakta saat ini. Jadi kami akan mencari win-win solution, tidak ada cara lain," kata Dr Soeryo.
Ia blak-blakan menyebut tugas terberat tim verifikasi bukanlah di lapangan, melainkan saat berhadapan dengan aktor lain di luar masyarakat.
"Tugas terberat adalah dari tim verifikasi karena kamilah yang mengetahui adanya permasalahan seperti tumpang tindih dengan Taman Nasional. Perlu diketahui, memverifikasi lapangan adalah tugas yang ringan daripada menghadapi aktor yang lain." tuturnya.
Dr Soeryo menjelaskan, dalam negosiasi dengan perusahaan, tim akan mengedepankan kebutuhan masyarakat.
"Masyarakat hanya membutuhkan ruang hidup, bukan menguasai dan memiliki. Tapi mereka perlu akses, nah, konsep aksesnya yang perlu dibicarakan bersama," kata dia.
Proses verifikasi 10 hutan adat di Malinau diakui sangat menguras tenaga. Dr Soeryo menyebut, jika biasanya tim hanya mendampingi satu komunitas, di Malinau mereka menangani 10 komunitas sekaligus.
Ia bahkan menceritakan sebuah anekdot untuk menggambarkan dedikasi tim. Dr Soeryo juga memohon masyarakat Malinau memaklumi proses yang berjalan.
"Salah satu tim pernah mendapatkan teguran dari pimpinannya, dirjen, lantaran tidak ada di ruangan kantor. Ditanya atasannya karena jarang ngantor," ceritanya.
"Ya itu karena tuntutan masyarakat banyak, paling ada di kantor hanya beberapa hari, dan selebihnya wajib kembali ke lapangan. Itu bukan karena malas ngantor, tapi karena memperjuangkan masyarakat banyak," tambahnya.
(aau/aau)