Ilmuwan Ingin Hidupkan Lagi Burung Purba Raksasa

Ilmuwan Ingin Hidupkan Lagi Burung Purba Raksasa

Aisyah Kamaliah - detikKalimantan
Selasa, 14 Okt 2025 20:00 WIB
Ilustrasi elang menyerang burung moa raksasa di Selandia Baru
Ilustrasi elang menyerang moa. Foto: John Megahan/Wikimedia Commons
Balikpapan -

Moa adalah burung raksasa dari Selandia Baru yang sudah punah. Burung ini tak bisa terbang, tak punya sayap, dengan fisik yang mirip burung serta pemakan daun dan buah.

Moa diketahui punya berat mencapai 226,7 kg (500 pounds) dan tinggi mencapai 3,6 meter (12 kaki). Spesies terbesarnya memiliki tinggi 3,8 meter dan berat lebih dari 220 kg.

Dirangkum detikInet dari laman New York Post, Time, dan Livescience, ilmuwan tengah berencana untuk menghidupkan lagi makhluk raksasa yang sudah punah itu. Perusahaan Colossal Biosciences mengklaim telah bekerja sama dengan sutradara 'Lord of the Rings' ternama, Sir Peter Jackson, untuk menghidupkan kembali moa.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Rencana ini dikoordinasikan oleh Ngāi Tahu Research Centre, yang terletak di antara suku Māori (iwi) utama di Pulau Selatan Selandia Baru dan University of Canterbury di Christchurch.

Burung yang tidak bisa terbang ini diketahui menghuni Selandia Baru, lalu kerap diburu hingga punah oleh para pemukim Māori sekitar 600 tahun yang lalu.

"Beberapa spesies ikonik yang ditampilkan dalam mitologi suku kami, kisah kami, sangat dekat dan berharga bagi kami," kata arkeolog Ngāi Tahu, Kyle Davis, yang turut berpartisipasi dalam upaya menghidupkan moa tersebut.

"Partisipasi dalam penelitian ilmiah, pengelolaan spesies, dan konservasi telah menjadi bagian besar dari kegiatan kami," lanjutnya.

Jackson, seorang investor di Colossal yang turut membantu Ngāi Tahu Research Centre, menjelaskan bahwa usulan de-extinction ini merupakan bagian dari upaya untuk memastikan beberapa spesies yang paling terancam punah di Aotearoa/Selandia Baru terlindungi untuk generasi mendatang.

Sayangnya, menghidupkan kembali moa tentunya tak semudah ucapannya. Para ahli menyamakan proses ini dengan proses menghidupkan kembali dire wolf, spesies anjing liar yang telah lama punah yang dibangkitkan oleh para ilmuwan dengan cara memanen DNA dari spesimen fosil dan kemudian mengisi celah genetik tersebut dengan genom serigala abu-abu.

Nah, menghidupkan kembali moa lebih menantang karena moa jauh lebih terpisah dari kerabat terdekatnya yang masih hidup, yaitu emu dan burung mirip ayam yang disebut tinamou.

Nenek moyang moa dan tinamou hidup 58 juta tahun yang lalu, sementara pendahulu moa dan emu hidup 65 juta tahun yang lalu. Selama jarak ini, moa terus mengembangkan banyak sifat unik yang sulit diduplikasi.

Untuk mencapai prestasi rekayasa genetika ini, tim berencana untuk mengurutkan dan merekonstruksi genom dari kesembilan spesies moa yang telah punah, sekaligus mengurutkan genom berkualitas tinggi dari kerabat mereka yang telah disebutkan sebelumnya.

Tim kemudian akan menggunakan prekursor sperma dan sel telur untuk membuat Frankenstein, 'burung pengganti', dari spesies yang masih hidup. Kemudian, ilmuwan akan mengubahnya secara genetik agar menyerupai moa.

Mereka berencana untuk memasukkan sel-sel yang diperbaiki ke dalam embrio tinamou atau emu di dalam telur. Setelah itu, sel-sel tersebut diharapkan akan bermigrasi ke gonad embrio, mengubahnya sehingga betina menghasilkan telur dan jantan menghasilkan sperma moa. Secara teori, hasilnya itu bakal tumbuh dewasa, kawin, dan menghasilkan anak moa.

Saat ini, tim masih dalam proses memilih pengganti tersebut, meskipun ukuran emu (mereka dapat tumbuh hingga 180 cm) menjadikannya pengganti yang lebih cocok daripada tinamou yang relatif kecil. Sayangnya, telur moa juga jauh lebih besar daripada telur emu, sehingga hal ini dapat menimbulkan tantangan lain jika mereka menggunakan telur emu sebagai ruang inkubasi untuk menetaskan burung hibrida tersebut.

"Telur moa raksasa Pulau Selatan tidak akan muat di dalam pengganti emu, jadi Colossal harus mengembangkan teknologi telur pengganti buatan," usul Nic Rawlence, direktur Otago Palaeogenetics Lab di University of Otago di Selandia Baru.

Rawlence bahkan percaya bahwa gen spesifik yang direkayasa secara genetik pada emu agar sesuai dengan moa dapat menimbulkan konsekuensi perkembangan yang mengerikan.




(aau/aau)
Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Hide Ads