Fachrul Baraqbah, Jalan Komunis Seorang Sayid dari Kesultanan Kutai

Sejarah

Fachrul Baraqbah, Jalan Komunis Seorang Sayid dari Kesultanan Kutai

Bayu Ardi Isnanto - detikKalimantan
Selasa, 30 Sep 2025 11:24 WIB
Ilustrasi Sayid Fachrul Baraqbah.
Ilustrasi Sayid Fachrul Baraqbah, bangsawan keturunan Arab jadi petinggi PKI. Foto: Copilot AI
Samarinda -

Sayid Fachrul Baraqbah adalah petinggi Partai Komunis Indonesia (PKI) dari Kalimantan Timur yang unik. Dia adalah seorang sayid dan bangsawan keturunan Arab dari Kesultanan Kutai .

Simak artikel ini untuk mengetahui profil Sayid Fachrul Baraqbah, lengkap dengan latar belakang, sepak terjang di dunia politik, hingga akhir kisahnya setelah 1965.

Sosok Sayid Fachrul Baraqbah

Dikutip dari East Kalimantan: The Decline of a Commercial Aristocracy oleh Burhan Djabier Magenda, Sayid Fachrul Baraqbah lahir pada 1925 di Samarinda. Dia baru lulus sekolah dasar Hollandsch-Inlandsche School (HIS) saat Jepang tiba.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Dia dikenal sebagai pemimpin gerilyawan di masa perjuangan 1945. Kemudian dia meniti karier politik melalui PKI hingga menjadi sosok pimpinan partai berideologi kiri tersebut. Dia pun menanggalkan gelar kebangsaan Aji Raden.

Diceritakan dalam situs Yayasan Penelitian Korban Pembunuhan (YPKP) 65, kisah Fachrul Baraqbah merupakan anomali di kelompoknya. Sebab rata-rata bangsawan Arab berafiliasi dengan partai Islam.

Kakaknya adalah aristokrat yang bekerja di pemerintahan Hindia-Belanda. Saudara laki-laki lainnya mewakili Nahdlatul Ulama (NU) di parlemen daerah. Fachrul memilih jalannya sendiri sebagai komunis.

Sepak Terjang Sayid Fachrul Baraqbah

Catatan sejarah Fachrul dimulai ketika mengikuti berjuang melawan Belanda di tanah kelahirannya, dan berakhir di era 1965 ketika PKI diberangus Orde Baru.

Ikut Berjuang di Masa Muda

Semangat perjuangan Fachrul tumbuh dalam pusaran revolusi. Pada 1945, ia bergabung dalam gerilya melawan Belanda di Samarinda.

Ketika situasi semakin genting, ia menyingkir ke Jawa Timur dan bergabung dengan Pesindo (Pemuda Sosialis Indonesia), organisasi pemuda kiri yang dekat dengan Amir Sjarifuddin.

Dari sana ia terlibat dalam Front Demokrasi Rakyat, dan meski banyak kader kiri tersapu dalam pembersihan pasca Peristiwa Madiun 1948, Fachrul berhasil bertahan.

Kembali ke Kalimantan Timur

Awal 1950-an, Fachrul kembali ke Samarinda dan segera menancapkan pengaruhnya. Magenda mencatat Fachrul berposisi sebagai Sekretaris Comite Daerah Besar PKI Kalimantan Timur, yang memberinya ruang untuk mengelola buruh dan petani.

Ia aktif menggerakkan buruh minyak di Balikpapan melalui Persatuan Buruh Minyak (afiliasi SOBSI), serta memimpin Front Nasional Kalimantan Timur. Peran ini memperkuat posisi PKI di daerah dan menjadikan Fachrul salah satu tokoh kunci dalam menghubungkan agenda nasional partai dengan dinamika lokal.

Pidato di Kongres Nasional PKI VI 1959

Nama Fachrul semakin dikenal ketika tampil dalam Kongres Nasional PKI VI 1959. Tercatat dalam Dokumen-dokumen Kongres Nasional Ke-VI Partai Komunis Indonesia, dia menolak keberlanjutan sistem swapraja di Kalimantan Timur yang dianggapnya menghambat demokrasi rakyat.

Ia juga mendukung nasionalisasi perusahaan asing, termasuk KPM, sebagai langkah memperkuat kedaulatan ekonomi Indonesia. Pidato ini menegaskan garis politik PKI yang anti-feodalisme dan anti-imperialisme, sekaligus memperlihatkan Fachrul sebagai corong penting gagasan partai di tingkat daerah.

Dalam disertasi William A Redfern berjudul Sukarno's Guided Democracy and the Takeovers of Foreign Companies in Indonesia in the 1960s, pidato Fachrul sesuai dengan agenda besar Sukarno yang anti-asing. PKI digunakan sebagai alat mobilisasi massa.

Penangkapan dan Akhir Hayat

Peristiwa 30 September 1965 di Jakarta membuat PKI menjadi organisasi terlarang. Para simpatisan PKI di seluruh negeri ditangkap, dihukum, bahkan dibunuh.

Fachrul sendiri memiliki hubungan yang cukup dekat dengan kalangan militer, terutama Pangdam Mulawarman, Brigjen R Soeharjo (Hario Kecik). Namun hal ini tetap tidak mampu menyelamatkannya ketika gelombang penangkapan kader PKI.

Menurut laporan Amnesty International, ia diadili di Balikpapan Subversion Court pada 1966 dan dijatuhi hukuman mati. Namun, pada banding di Pengadilan Tinggi Banjarmasin tahun 1969, hukumannya dikurangi menjadi penjara seumur hidup.

Fachrul kemudian mendekam di penjara Balikpapan selama hampir dua dekade. Ia baru dibebaskan pada awal 1984, menjadikannya salah satu dari sedikit tokoh PKI yang selamat dari eksekusi.

Setelah bebas pada 1984, tidak banyak catatan publik mengenai kehidupan Fachrul. Namun, kabarnya dia meninggal tak lama setelah bebas.

Berdasarkan situs RMI NU Banten, Fachrul dikenang sebagai tokoh Ba'Alawi yang justru menjadi pemimpin PKI. Hal ini menantang stereotip bahwa keturunan sayid selalu identik dengan kepemimpinan agama. Bisa dibilang Fachrul adalah simbol pergeseran identitas politik yang kompleks di Indonesia pertengahan abad ke-20.




(bai/sun)
Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Hide Ads