.webp)
Jika kita memperhatikan gambar-gambar tentang luar angkasa, pasti akan tampak berlatar gelap. Pertanyaan yang sering muncul, mengapa ruang angkasa terlihat gelap, padahal terdapat matahari maupun miliaran bintang lain di alam semesta?
Dikutip dari detikInet, astronom Jerman Heinrich Olbers awalnya mengemukakan hipotesis bahwa keberadaan materi seperti awan debu di antara bintang-bintang menyerap cahaya, sehingga ruang angkasa tetap tampak gelap.
Baca juga: Bunker Kiamat Sudah Dipasarkan, Siapa Mau? |
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Namun, hipotesis itu tidak sesuai dengan hukum pertama termodinamika yang menyatakan bahwa materi yang menyerap cahaya akan memancarkan panas dan cahaya itu sendiri.
Pada abad ke-20, paradoks Olbers akhirnya terpecahkan. Ditemukan bahwa Alam Semesta terus mengembang, menyebabkan cahaya dari galaksi yang menjauh bergeser ke spektrum inframerah, ultraviolet, dan gelombang radio yang tidak dapat dilihat oleh mata manusia. Ini mengimplikasikan bahwa seluruh ruang angkasa akan tampak bersinar jika kita dapat mendeteksi gelombang mikro.
Dikutip detikINET dari Orbital Today, alasan sebenarnya adalah pada keberadaan atmosfer. Di ruang angkasa yang hampir kosong, cahaya tidak memiliki objek untuk memantulkannya.
Namun, pada objek-objek langit, misalnya planet Bumi, maka permukaannya akan terlihat cerah di sisi siang. Ini terjadi karena cahaya matahari memantul dari atmosfer, menyebabkan hamburan dalam spektrum cahaya yang terlihat oleh mata manusia.
Atmosfer Bumi terutama menyebarkan cahaya biru karena panjang gelombangnya lebih pendek daripada cahaya merah, sehingga langit pada siang hari tampak berwarna biru. Fenomena serupa juga terjadi di Mars, meskipun dengan intensitas yang lebih rendah karena atmosfernya lebih tipis.
Baca juga: Melihat Blood Moon dari Berbagai Negara |
Baca artikel selengkapnya di sini.
(asj/bai)
