Menjelang Kemerdekaan, mari kita mengenang jasa para pahlawan yang telah berjuang dan menyumbangkan pengetahuannya demi bangsa. Dari tanah Borneo, ada salah satu tokoh penting pejuang kemerdekaan perempuan di Kalimantan Timur, ialah Aminah Syukur.
Perempuan bernama asli Atje Voorstad itu lahir di Palembang, tepatnya pada 20 Januari 1901. Ia berdarah Indo-Belanda, tetapi perjalanan hidupnya justru berlabuh jauh dari tanah kelahirannya.
Takdir membawanya ke Samarinda. Di kota tepian Mahakam itu, ia menemukan panggilan hidupnya. Setelah memeluk Islam dan menikah dengan pemuka lokal, ia mengganti namanya menjadi Aminah Syukur.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Arsip-arsip sejarah di Dinas Perpustakaan Kota Samarinda dan Museum Kota Samarinda mencatat perjalanan Aminah Syukur, yang dikenal juga dengan julukan 'Nenek Belanda'.
Mengenal Aminah Syukur yang Membuka Jalan untuk Perempuan Bersekolah
Tahun 1928 menjadi titik penting. Bersama suami keduanya, Mohammad Jacob, Aminah mendirikan Meisje School, sebuah sekolah khusus perempuan di Yacob Steg yang kini dikenal sebagai Jalan Mutiara.
Pada masa kolonial, kesempatan belajar bagi perempuan pribumi hampir tak ada. Aminah menentang batasan itu. Ia percaya bahwa perempuan berhak mendapatkan ilmu setara dengan laki-laki.
Di masa ketika perempuan hanya diharapkan mengurus rumah tangga, Aminah datang dengan pandangan yang berbeda. Ia menggerakkan perubahan melalui ruang kelas. Ia berjalan kaki, mendatangi rumah muridnya, mengajar dengan penuh kesabaran, dan memegang teguh keyakinan bahwa ilmu adalah kunci pembebasan.
Walau fokusnya pada murid perempuan, sekolah ini juga membuka pintu untuk beberapa murid laki-laki. Salah satunya adalah Abdoel Moeis Hassan, keponakan Aminah, yang kelak menjadi tokoh penting dalam perjuangan kemerdekaan di Kaltim.
Keputusan ini menunjukkan bahwa bagi Aminah, pendidikan adalah hak semua anak, tanpa membedakan gender. Aminah tak hanya mendirikan sekolah, ia kemudian mengajar di berbagai sekolah formal seperti SD Negeri Sungai Pinang, SD Permandian, dan Sekolah Kepandaian Puteri.
Bahkan setelah jam sekolah selesai, ia masih menyempatkan diri mendatangi rumah-rumah muridnya untuk memberi pelajaran tambahan. Rumahnya di Wilhelmina Straat (sekarang Jalan Diponegoro) pun kerap berubah menjadi ruang kelas dadakan.
Di usia yang telah melewati 60 tahun, Aminah tetap aktif mengajar tanpa pernah mengharap imbalan. Baginya, kepuasan datang dari melihat muridnya bisa membaca, menulis, dan menggapai masa depan.
Perjalanan mengajar Aminah dari satu sekolah ke sekolah yang lain dengan jarak yang cukup jauh patut diapresiasi. Ia kemudian akrab disapa anak-anak sebagai 'Nenek Belanda' karena perawakannya yang memang keturunan Belanda.
Kegigihannya membuat Aminah menjadi salah satu tokoh pendidikan paling berpengaruh di Kalimantan Timur. Ia memajukan peradaban perempuan di Kaltim, yang jejaknya masih berbekas di Samarinda.
Diabadikan Sebagai Nama Jalan
Aminah Syukur berpulang pada 3 Maret 1968 di Jakarta. Dua tahun kemudian, tepat pada Hari Kartini, 21 April 1970, jenazahnya dipindahkan ke Taman Makam Pahlawan Kusuma Bangsa di Samarinda. Pemilihan tanggal itu bukan kebetulan, tapi adalah penghormatan simbolis bahwa perjuangan Aminah sejiwa dengan perjuangan Kartini.
Namanya kini diabadikan sebagai nama jalan utama di Samarinda, bahkan kisahnya masuk dalam materi pelajaran sejarah. Generasi muda Kaltim diajak mengenang bahwa ada seorang 'Nenek Belanda' yang mengorbankan hidupnya demi pendidikan anak-anak pribumi.
Warisan yang ditinggalkannya bukan hanya pada bangunan sekolah atau nama jalan, tetapi pada ribuan jiwa yang pernah disentuhnya dengan ilmu.