Lomba-lomba peringatan 17 Agustus sudah menjadi tradisi tahunan yang dinanti-nanti. Bukan hanya seru, tetapi juga mempererat kebersamaan warga.
Setiap 17 Agustus, masyarakat Indonesia tumpah ruah merayakan Hari Kemerdekaan dengan berbagai lomba unik mulai dari panjat pinang, balap karung, hingga makan kerupuk. Kegiatan ini telah menjadi bagian dari identitas perayaan kemerdekaan di Indonesia.
Namun ada spekulasi yang beredar, menganggap bahwa lomba Agustusan kental dengan hiburan para penjajah saat melihat rakyat Indonesia menderita. Konon lomba-lomba tersebut berasal dari masa kolonial, bahkan dianggap sebagai hiburan bagi kaum penjajah. Benarkah hal tersebut?
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sejarah Lomba 17 Agustus
Dr Hj Lutfiyah dalam bukunya yang berjudul Bunga Rampai Kisah dan Cerita Inspiratif Pengabdian Mahasiswa, mengutip pernyataan Dosen Sejarah Universitas Sanata Dharma, Heri Priyatmoko. Disebut lomba 17 Agustus memiliki makna monumen ingatan kolektif rakyat mengenai kemerdekaan Indonesia. Sehingga masyarakat bisa mengingat sejarah masa lalu, sekaligus menyalurkan kreatifitas dan menjalin kebersamaan.
Dirangkum detikEdu dalam arsip wawancaranya bersama Heri Priyatmoko, perlombaan sudah ada sejak sebelum masa kemerdekaan. Salah satunya panjat pinang, yang bahkan menjadi acara hiburan dalam pernikahan bangsawan.
Pernikahan tersebut terjadi pada 1920 antara putri Raja Keraton Yogyakarta Sri Sultan Hamengku Buwono VII bernama Gusti Raden Ayu Mursudarijah yang kemudian bergelar Ratu Timur, dengan Pangeran Adipati Aryo Prangwedono yang kemudian disebut KGPAA Mangkunegara VII selaku penguasa Pura Mangkunegaran.
"Acaranya tidak hanya tari-tarian, tetapi juga lomba memanjat pohon pinang yang diikuti masyarakat. Lomba ini membuat masyarakat senang dan terpingkal-pingkal. Jika ada anggapan panjat pinang menyimbolkan penguasa yang menginjak-injak rakyat kecil itu salah, justru ini bentuk gotong royong, hadiahnya pun dibagi seluruh anggota tim," kata Heri.
Begitupun pada lomba makan kerupuk, yang mulai dikenal dalam perayaan HUT RI pada tahun 1950-an. Tradisi ini muncul setelah Indonesia melewati masa perang dan krisis ekonomi di era 1945-1950, yang membuat masyarakat kehilangan semangat untuk merayakan kemerdekaan secara meriah.
Saat itu, perlombaan ini hadir sebagai bentuk hiburan rakyat yang sederhana sekaligus upaya membangkitkan semangat nasionalisme di tengah keterbatasan. Kerupuk merupakan makanan murah dan terjangkau yang sudah akrab dengan masyarakat sejak masa krisis 1930-1940-an.
Maka, kerupuk dianggap sebagai simbol kesetaraan dan kehidupan rakyat kecil. Lomba makan kerupuk pun tidak sekadar permainan, melainkan cerminan ketangguhan bangsa dalam menghadapi masa-masa sulit.
Secara filosofis, tradisi ini menyiratkan pesan solidaritas dan kebersamaan, karena dapat diikuti oleh siapa saja tanpa memandang latar belakang sosial. Proses perlombaannya pun sederhana, kerupuk digantung dan peserta harus memakannya tanpa menggunakan tangan.
Selain itu masih ada pula lomba balap karung, yang dikatakan Heri juga sudah ada sejak zaman Belanda. Hal ini dibuktikan dengan adanya foto koleksi Perpustakaan Reksopustoko Mangkunegaran yang menggambarkan para remaja anggota pramuka (padwinder) yang dibina Mangkunegara VII.
"Bahan goni ini pada masa itu terbilang sulit dijangkau masyarakat kecil, jadi kemungkinan hanya bisa dimainkan kelompok elite," ujar dia.
Seperti lomba balap karung yang menggunakan goni, bahan tambang dalam pertandingan tarik tambang ini juga dianggap mahal bagi kalangan rakyat kecil.
"Tambang dan karung sama-sama termasuk barang yang mahal saat itu. Masyarakat kecil cenderung menggunakan benda-benda yang mudah didapat, seperti bambu, belut, tanah liat, untuk menggelar lomba," kata Heri.
Ada juga fakta mengenai pertandingan tarik tambang alias tug of war yang juga pernah dimainkan dalam Olimpiade pada 1900 di Paris hingga 1920 di Antwerp. Bisa jadi lomba 17-an ini meniru pertandingan olahraga di Olimpiade tersebut.
Makna Lomba 17 Agustus
Lomba 17 Agustus tidak hanya sekadar ajang hiburan, tetapi juga sarat akan makna simbolis yang mencerminkan nilai-nilai perjuangan dan kebangsaan. Berikut beberapa makna penting di balik kegiatan ini:
1. Menumbuhkan Semangat Juang
Dalam setiap kompetisi, peserta pasti berusaha sekuat tenaga untuk meraih kemenangan. Hal ini bukan semata demi hadiah, tetapi juga melatih daya juang-semangat yang serupa dengan perjuangan para pahlawan saat merebut kemerdekaan.
2. Menanamkan Nilai Gotong Royong
Banyak perlombaan dilakukan secara berkelompok dan membutuhkan kekompakan. Ini mencerminkan pentingnya kerja sama dan semangat gotong royong yang sejak dulu menjadi bagian dari identitas bangsa Indonesia.
3. Membangun Rasa Nasionalisme
Suasana perayaan HUT RI selalu dihiasi lagu-lagu kebangsaan serta atribut bernuansa merah putih. Hal ini memperkuat rasa cinta tanah air dan menumbuhkan semangat nasionalisme di kalangan masyarakat.
4. Merayakan Kemerdekaan dengan Sukacita
Selain penuh makna, lomba-lomba 17 Agustus juga menjadi sumber kegembiraan bagi peserta maupun penonton. Kegiatan ini menjadi cara rakyat menyambut hari kemerdekaan dengan suka cita, meriah, dan penuh kebersamaan.
Nah, itulah tadi sejarah dan makna lomba 17 Agustus yang selalu digelar setiap tahunnya. Semoga semangat kemerdekaan masih terus membara dalam benak kita. Merdeka!
(aau/bai)