Kepala Perum Bulog Divre Tarakan, Sri Budi Prasetyo menanggapi keluhan masyarakat atas melonjaknya harga beras di Tarakan, Kalimantan Utara. Ia juga menanggapi isu penghentian distribusi beras Stabilisasi Pasokan dan Harga Pangan (SPHP) sejak tiga bulan lalu.
Sekedar diketahui, ketimpangan Harga Eceran Tertinggi (HET) antara Kalimantan Utara dan Kalimantan Selatan mulai dikeluhkan distributor. Sri menjelaskan, distribusi beras SPHP di Tarakan memang terhenti sejak 29 Maret 2025 hingga awal Juli 2025. Penghentian ini dilakukan karena adanya instruksi dari pemerintah pusat.
"Jadi, sejak Maret hingga awal Juli, SPHP memang tidak beredar di Tarakan. Baru di pertengahan Juli, kami kembali menyalurkan beras SPHP, tapi hanya melalui Gerakan Pangan Murah," ujar Sri kepada detikKalimantan, Selasa (22/7/2025).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Menurut Sri, beras SPHP di kota Tarakan kini dijual dengan harga maksimal Rp 13 ribu per kilogram atau Rp 65 ribu per kemasan 5 kilogram untuk menghindari pembulatan yang dilakukan oleh pedagang pengecer dengan alasan kesulitan yang kecil. Sedangkan, sesuai Peraturan Badan Pangan Nasional Nomor 5 Tahun 2024 harga HET ditetapkan 13.100 per kg.
"Kami sepakat dengan Dinas Perdagangan, Dinas Ketahanan Pangan, dan Satgas Pangan bahwa harga jual ke konsumen tidak boleh lebih dari Rp13.000," ucapnya.
Terkait keluhan distributor soal ketimpangan HET, Sri mengakui adanya perbedaan biaya transportasi yang memengaruhi harga beras di Tarakan dibandingkan Banjarmasin. Kalimantan Utara dan Selatan masuk dalam wilayah Regional 2 dengan HET yang sama, yakni Rp15.400 untuk beras premium. Namun, biaya pengiriman dari Jawa atau Sulawesi ke Tarakan jauh lebih tinggi dibandingkan ke Banjarmasin.
"Biaya transportasi dari Surabaya atau Makassar ke Tarakan memang lebih mahal dibandingkan ke Balikpapan atau Banjarmasin. Ini menjadi kendala yang perlu disampaikan ke pemerintah pusat," ungkapnya.
Sri menambahkan, Bulog tidak melakukan pengiriman langsung ke pedagang. Beras SPHP dijual di gudang Bulog seharga Rp11.300 per kilogram, dan biaya angkut menjadi tanggungan pedagang. Guna mencegah praktik nakal seperti pengoplosan, Bulog membatasi pengambilan beras SPHP maksimal 2 ton per transaksi dan mewajibkan pedagang mencatat penjualan harian melalui aplikasi Klik SPHP.
"Kami bekerja sama dengan Satgas Pangan, Dinas Perdagangan, dan Dinas Ketahanan Pangan untuk memantau penyaluran. Jika ada pelanggaran, seperti pengoplosan, pedagang bisa dicoret dari daftar penyalur," kata Sri.
Saat ini, distribusi beras SPHP di Tarakan hanya dilakukan melalui dua pasar, yakni Pasar Tenguyun, Pasar Buser, dan Koperasi Merah Putih Selimit. Sri berharap ke depan pemerintah dapat mencari solusi atas kendala biaya transportasi agar harga beras di Tarakan lebih terjangkau.
Sebelumnya diberitakan, warga Tarakan mengeluhkan tingginya harga beras di pasaran, yang mendorong sebagian masyarakat beralih ke beras 'tak resmi' dari Malaysia. Kelangkaan beras SPHP dan ketimpangan HET menjadi sorotan utama, terutama karena biaya logistik yang membebani distributor lokal.
(aau/aau)