Penggunaan pinjaman online (pinjol) yang tidak dikelola secara bijak dapat membawa dampak negatif, salah satunya terhadap skor kredit. Di Indonesia, sistem penilaian kredit dikenal sebagai BI Checking atau Sistem Layanan Informasi Keuangan (SLIK), yang dikelola oleh Bank Indonesia.
Melalui SLIK, semua informasi terkait riwayat pinjaman seseorang, termasuk utang dari pinjol, akan tercatat dan digunakan untuk menilai kelayakan kredit melalui skor tertentu. Penilaian skor kredit dalam sistem SLIK biasanya berada pada skala 1 hingga 5.
Setiap level skor memiliki konsekuensinya masing-masing terhadap kemampuan seseorang untuk mengakses layanan keuangan. Sayangnya, tidak ada batas waktu pasti kapan catatan buruk akibat pinjaman online akan hilang, terutama jika pinjaman tersebut berasal dari penyedia pinjol resmi yang telah terdaftar dan diawasi oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dilansir detikFinance dari situs lembaga pemeringkat kredit (credit scoring) IdScore, saat debitur masih memiliki pinjaman yang belum lunas, penyedia layanan pinjaman akan tetap menyimpan data peminjam untuk keperluan administrasi seperti pelaporan kredit dan pelacakan.
Artinya data peminjam tidak bisa dihapus selama utang pinjol belum terbayar lunas. Oleh karena itu melunasi pinjaman tidak hanya akan menghentikan bunga dan biaya tambahan, namun juga menjadi syarat utama sebelum peminjam bisa mengajukan permintaan penghapusan data.
Disaat yang bersamaan data ini akan dilaporkan pinjol terkait ke SLIK OJK sebagai catatan kredit. Di sana, seluruh utang yang belum dibayarkan hingga ketepatan waktu pembayaran dicatat.
Begitu juga jika utang sudah dilunasi, maka pinjol terkait wajib melaporkan pelunasan ke SLIK OJK. Biasanya, pembaruan data dilakukan maksimal 30 hari setelah pelaporan penghapusan tagihan.
Setelah itu, pihak pemberi layanan kredit juga akan menerbitkan surat keterangan pelunasan tagihan untuk disimpan bilamana dibutuhkan. Jika data di SLIK OJK belum berubah dalam rentang waktu tersebut, maka debitur bisa mengajukan komplain ke lembaga pemberi pinjaman.
Sekedar diketahui, berdasarkan data Statistik Layanan Pendanaan Bersama Berbasis Teknologi Informasi (LPBBTI) OJK, total outstanding pinjaman fintech peer-to-peer (P2P) lending alias utang pinjol yang belum dibayarkan per Maret 2025 mencapai Rp 79,96 triliun dengan persentase gagal bayar (galbay) mencapai 2,77%.
Jika dilihat berdasarkan wilayah, mayoritas utang pinjol ini tersebar di Pulau Jawa dengan total sebesar Rp 56,3 triliun dengan jumlah galbay 3,08%. Sementara total utang pinjol di Luar Pulau Jawa sebesar Rp 23,66 triliun dengan jumlah galbay 2,03%.
Sementara jika dilihat berdasarkan penerima pinjaman, mayoritas utang pinjol ini berasal dari perseorangan dengan total sebesar Rp 75,46 triliun dengan jumlah rekening penerima sebanyak 23,68 juta entitas. Sementara total utang pinjol untuk penerima badan usaha sebesar Rp 4,5 triliun dengan jumlah rekening penerima sebanyak 4.321 entitas.
(aau/aau)