Pemilihan umum (pemilu) nasional dan daerah yang sebelumnya diadakan serentak bakal segera dipisah. Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan agar kedua pesta politik itu diadakan di waktu berbeda.
Dilansir detikNews, MK mengusulkan pemungutan suara nasional dipisah dan diberi jarak dengan pemilihan tingkat daerah. Paling singkat 2 tahun dan paling lama 2 tahun 6 bulan.
"Menyatakan Pasal 3 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 57, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5678) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang ke depan tidak dimaknai, 'Pemilihan dilaksanakan secara serentak di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah provinsi, anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah kabupaten/kota dan gubernur/wakil gubernur, bupati/wakil bupati, dan walikota/wakil walikota yang dilaksanakan dalam waktu paling singkat 2 (dua) tahun atau paling lama 2 (dua) tahun 6 (enam) bulan sejak pelantikan anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan anggota Dewan Perwakilan Daerah atau sejak pelantikan Presiden/Wakil Presiden'," ujar Ketua MK Suhartoyo mengucapkan Amar Putusan, Kamis (26/6/2025).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Putusan ini berangkat dari gugatan yang diajukan Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) dengan nomor perkara 135/PUU-XXII/2024. Perludem mengajukan pengujian sejumlah pasal dalam Undang-Undang Pemilu dan UU Pilkada ke Mahkamah Konstitusi (MK). Perludem meminta agar Pemilu untuk tingkat nasional dipisah dan diberi jarak 2 tahun dengan Pemilu tingkat daerah.
Dalam permohonannya, Perludem menilai Pemilu serentak dengan 5 kotak suara di TPS telah melemahkan pelembagaan partai politik, melemahkan upaya penyederhanaan sistem kepartaian, serta menurunkan kualitas kedaulatan rakyat dalam penyelenggaraan pemilu.
Pertimbangan MK
1. Isu Daerah Tenggelam di Tengah Isu Nasional
Dalam pertimbangan hukumnya, MK menyatakan penyelenggaraan pilpres serta pileg yang berdekatan dengan penyelenggaraan pilkada menyebabkan rakyat tak punya cukup waktu menilai kinerja pemerintahan hasil pilpres dan anggota legislatif. Selain itu, masalah pembangunan daerah yang seharusnya diangkat peserta pileg daerah dan pilkada cenderung tenggelam di tengah isu nasional.
MK juga menilai pemilu serentak dalam rentang waktu kurang dari 1 tahun dengan pemilihan kepala daerah juga berimplikasi pada partai politik. Terutama berkaitan dengan kemampuan untuk mempersiapkan kader partai politik dalam kontestasi pemilihan umum. Akibatnya, menurut MK, partai politik mudah terjebak dalam pragmatisme dibanding keinginan menjaga idealisme dan ideologi partai politik.
2. Beban Kerja Penyelenggara Pemilu
Hakim MK Arief Hidayat menyebut terjadi impitan sejumlah tahapan dalam penyelenggaraan pileg dan pilpres dengan sejumlah tahapan awal pilkada pada 2024. Tahapan itu menyebabkan terjadinya tumpukan beban kerja penyelenggara pemilu yang berpengaruh terhadap kualitas penyelenggaraan pemilu.
Tumpukan beban kerja penyelenggara yang terpusat pada rentang waktu tertentu juga menyebabkan adanya kekosongan waktu yang relatif panjang bagi penyelenggara pemilu.
"Masa jabatan penyelenggara pemilihan umum menjadi tidak efisien dan tidak efektif karena hanya melaksanakan 'tugas inti' penyelenggaraan pemilihan umum hanya sekitar 2 (dua) tahun," jelas Arief.
3. Parpol Rawan Terjebak Pragmatisme
MK juga menilai tahapan penyelenggaraan pemilu anggota DPR, anggota DPD, presiden/wakil presiden, dan anggota DPRD yang berada dalam rentang waktu kurang dari 1 tahun dengan pemilihan kepala daerah, juga berimplikasi pada partai politik-terutama berkaitan dengan kemampuan untuk mempersiapkan kader partai politik dalam kontestasi pemilihan umum. Akibatnya, kata MK, partai politik mudah terjebak dalam pragmatisme dibanding keinginan menjaga idealisme dan ideologi partai politik.
Jadwal yang berdekatan itu membuat partai politik tidak memiliki waktu yang cukup untuk melakukan perekrutan calon anggota legislatif pada pemilu legislatif tiga level sekaligus dan bagi partai politik tertentu harus pula mempersiapkan kadernya untuk berkontestasi dalam pemilihan umum presiden/wakil presiden. Dengan demikian, agenda yang berdekatan tersebut juga menyebabkan pelemahan pelembagaan partai politik yang pada titik tertentu partai politik menjadi tidak berdaya berhadapan dengan realitas politik dan kepentingan politik praktis.
4. Pemilih Jenuh dengan Agenda Pemilu
Selanjutnya, MK menilai waktu pemilihan yang berdekatan ini berpotensi membuat pemilih jenuh dengan agenda pemilu. Pemilih harus mencoblos dan menentukan pilihan di antara banyak calon dalam pemilihan umum anggota DPR, anggota DPD, presiden/wakil presiden, dan anggota DPRD yang menggunakan model lima kotak.
"Fokus pemilih terpecah pada pilihan calon yang terlampau banyak dan pada saat yang bersamaan waktu yang tersedia untuk mencoblos menjadi sangat terbatas. Kondisi ini, disadari atau tidak, bermuara pada menurunnya kualitas pelaksanaan kedaulatan rakyat dalam pemilihan umum," katanya.
(des/des)