Kecelakaan Air India di Ahmedabad pada Kamis (12/6) lalu terekam oleh kamera seorang remaja berusia 17 tahun. Rekaman tersebut menjadi salah satu dokumentasi yang memperlihatkan detik-detik jatuhnya pesawat. Namun, remaja perekam mengaku mengalami trauma berat setelah mengabadikan kejadian itu.
Dikutip detikHealth dari NDTV, remaja bernama Aryan itu mengaku awalnya hanya merekam pesawat lepas landas di dekat tempat tinggalnya seperti biasa. Dia tidak menyangka pesawat itu kemudian mengalami kecelakaan.
Remaja tersebut baru menyadari pesawat yang direkamnya mengalami kecelakaan setelah terjadi ledakan dan dia melihat kembali rekamannya dengan sang kakak. Video ini menjadi salah satu yang banyak ditonton publik.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Saya merasa sangat takut. Kakak saya adalah orang pertama yang melihat video itu. Saya merasa sangat takut karena apa yang saya lihat," tuturnya.
Kakak Aryan pun menyebut adiknya sempat tidak mau bicara dan tidak mau makan setelah kejadian. Keluarga sempat khawatir pada kondisi Aryan yang mengalami trauma cukup berat.
Gejala ini dikenal sebagai gangguan stres pascatrauma atau post-traumatic stress disorder (PTSD). Salah satunya bisa dipicu melihat atau mengalami kejadian yang sangat traumatis seperti kecelakaan pesawat. PTSD juga bisa disebabkan tekanan psikologis lainnya.
Reaksi jangka pendeknya termasuk syok, penyangkalan, dan disorientasi, sementara efek jangka panjang dapat mencakup ingatan yang mengganggu, perilaku menghindar, perubahan negatif dalam suasana hati dan pikiran, serta perubahan reaksi fisik dan emosional.
Dampak psikologis tidak hanya dirasakan oleh mereka yang melihat langsung kejadian di lokasi, tetapi mungkin juga dialami orang-orang yang menonton video detik-detik kejadian. Dikutip dari CNN, salah satu akibatnya yakni ketakutan naik pesawat terbang hingga aerophobia.
"Setiap orang mungkin pernah berpikir, 'Semoga pesawatku aman', saat ada jadwal delay atau keterlambatan. Tapi bagi sebagian orang, pikiran itu bisa menjadi melekat dan berubah menjadi kecemasan berlebihan," terang Dr Gail Saltz, psikiater dan profesor klinis di Weill Cornell Medical College.
Saltz menjelaskan perbedaan antara kecemasan terhadap penerbangan dengan aerophobia. Seseorang dengan kecemasan terhadap penerbangan mungkin masih bisa melanjutkan penerbangan. Namun pada aerophobia, muncul gejala fisik lebih serius seperti jantung berdebar, berkeringat, mual, hingga muntah.
Gejala ini bahkan bisa muncul sejak seminggu sebelum terbang. Pengidap aerophobia akan merasa panik, cemas berlebihan, dan secara perilaku bisa membatalkan penerbangan mendadak atau memilih moda transportasi lain demi menghindari pesawat.
"Kalau gejala ini sudah berlangsung enam bulan atau lebih dan mengganggu kehidupan sehari-hari, itu bisa dikategorikan sebagai fobia," jelasnya.
(des/des)