Mantan PNS Badan Pusat Statistik (BPS) Lucky Permana mengajukan permohonan ke Mahkamah Konstitusi (MK) agar tidak dipecat dan dapat kembali bekerja di sektor pemerintahan setelah menjalani masa pidana. Permohonan tersebut ditolak MK seluruhnya.
Dilansir detikNews, Lucky Permana pernah menjalani hukuman pidana penjara dan denda berdasarkan putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap atas dasar pertimbangan. Lucky dipenjara selama 2 tahun 6 bulan dan denda Rp 250 juta karena melakukan tindak pidana kealpaan karena tidak teliti dalam menjalankan tugasnya sebagai Pejabat Pembuat Komitmen (PPK).
Pemohon diberhentikan tidak dengan hormat melalui surat keputusan pemberhentian pada 29 April 2019 yang dikeluarkan Kepala BPS. Pemohon dinyatakan melanggar UU ASN mengenai ketentuan pemberhentian PNS akibat telah dihukum penjara berdasarkan putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Namun, menurut Pemohon, keputusan pemberhentian tidak dengan hormat ini dilakukan tanpa adanya penilaian individual terhadap aspek-aspek lainnya seperti rekam jejak kinerja, kompetensi, kontribusi, dedikasi, potensi rehabilitasi, masa kerja, tingkat kesalahan, dan/atau aspek-aspek lain yang seharusnya menjadi pertimbangan dalam menentukan sanksi administratif.
Dia menilai Pasal 52 ayat (3) huruf i tidak memberikan ruang bagi penilaian individual untuk menilai kelayakan diberhentikan atau tidak diberhentikan dan rehabilitasi administratif bagi PNS/ASN yang telah menjalani hukuman pidananya sehingga secara permanen menghilangkan hak konstitusional Pemohon untuk bekerja kembali di sektor pemerintahan.
Dalam petitumnya, Lucky meminta MK menyatakan Pasal 52 ayat (3) huruf i dan ayat (4) sepanjang frasa "huruf i" UU ASN bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai pemberhentian tidak dengan hormat hanya dapat dilakukan setelah adanya penilaian individual dan rehabilitasi administratif bagi ASN yang telah menjalani hukuman pidana.
Oleh MK, permohonan tersebut ditolak. MK berpendapat bahwa pemberhentian tidak dengan hormat atau PTDH kepada ASN yang melanggar atau melakukan kejahatan, apalagi sudah terbukti di persidangan, adalah hal yang wajar.
"Mengadili, menolak permohonan pemohon untuk seluruhnya," ujar Ketua MK Suhartoyo dalam sidang pengucapan putusan, Kamis (5/6/2025).
"Bahwa seorang PNS diberhentikan karena melakukan tindak pidana kejahatan jabatan atau tindak pidana yang ada hubungannya dengan jabatan. Hal demikian adalah wajar, sebab dengan melakukan tindak kejahatan atau tindak pidana, dengan demikian seorang PNS telah menyalahgunakan atau bahkan mengkhianati jabatan yang dipercayakan kepadanya untuk diemban sebagai pegawai ASN," tegasnya.
Hakim berpandangan setiap jabatan yang diemban PNS semata-mata demi pembangunan bangsa dan negara. Apabila ada kesalahan atau pelanggaran, maka ASN sudah dianggap mengkhianati kepentingan masyarakat.
"Sebab seorang PNS yang melakukan kejahatan atau tindak pidana, sesungguhnya secara langsung atau tidak langsung telah mengkhianati rakyat. Karena perbuatannya demikian telah menghambat upaya cita-cita dan tujuan bernegara yang seharusnya menjadi acuan seorang PNS sebagai seorang ASN dalam melaksanakan tugas-tugasnya, baik tugas pelayanan publik, tugas pemerintahan, atau tugas pembangunan tertentu," jelas hakim.
"Oleh karena itu, persyaratan pemberlakuan norma Pasal 52 ayat 3 huruf i dan ayat 4 sepanjang frasa "huruf i" UU 20/2023 yang esensinya sama dengan norma Pasal 87 ayat 4 huruf b UU 5/2014, di mana UU 20/2023 yang menggantikan UU 5/2014 adalah permohonan pemohon yang tidak tepat untuk dipertimbangkan, karena hal tersebut justru akan melemahkan hakikat penjatuhan sanksi yang berat berupa pemberhentian tidak hormat bagi ASN yang melakukan tindakan yang terbukti menyalahgunakan jabatannya, atau setidak-setidaknya ada hubungan dengan jabatannya," imbuhnya.
Selain itu, MK juga berpandangan bahwa sanksi PTDH yang dijatuhkan kepada ASN yang telah dipidana bukanlah sanksi ganda. MK mengatakan Pemohon tidak perlu khawatir dengan sanksi PTDH.
"Di samping itu, pemberhentian sebagai pegawai ASN setelah pidana penjara atau kurungan bukan merupakan sanksi ganda atas kesalahan yang sama dengan sanksi atau hukuman pidana bagi pemohon. Walakin, pemberhentian sebagai pegawai ASN merupakan konsekuensi dari putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap, sehingga PTDH tersebut merupakan sanksi lanjutan setelah putusan pengadilan berkekuatan hukum tetap. Hal tersebut bukan sanksi ganda untuk satu perbuatan yang dikhawatirkan pemohon," paparnya.
(des/des)