Risiko Jika Sertifikat Tanah 1961-1997 Tidak Diubah ke Elektronik

Risiko Jika Sertifikat Tanah 1961-1997 Tidak Diubah ke Elektronik

Nadhifa Aurellia Wirawan - detikKalimantan
Minggu, 25 Mei 2025 10:33 WIB
Sertifikat tanah elektronik
Sertifikat tanah elektronik. Foto: Dok. Kementerian ATR/BPN
Samarinda -

Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) mendorong proses digitalisasi aset tanah di Indonesia. Salah satu langkah strategis yang sedang dilakukan adalah konversi sertifikat tanah fisik menjadi sertifikat elektronik. Program ini mulai menyasar sertifikat tanah yang terbit antara tahun 1961 hingga 1997, yang jumlahnya masih cukup besar di masyarakat.

Sertifikat elektronik menawarkan banyak keunggulan dalam hal keamanan, efisiensi, dan kemudahan layanan. Namun, jika pemilik tanah enggan beralih ke sistem digital, sejumlah risiko dan dampak serius bisa saja terjadi. Lantas, apa saja bahaya jika tidak segera melakukan digitalisasi sertifikat tanah? Simak penjelasan berikut.

Apa itu Sertifikat Elektronik?

Sertifikat elektronik merupakan inovasi digital dari Kementerian ATR/BPN yang menggantikan dokumen fisik kepemilikan tanah menjadi dokumen digital yang tersimpan aman dalam sistem elektronik milik negara.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Proses tersebut dikenal sebagai konversi sertifikat. Artinya, sertifikat tanah yang dulunya berbentuk kertas kini akan diubah menjadi file digital yang memiliki kekuatan hukum yang sama, bahkan lebih aman dan efisien dalam pengelolaannya.

Mengapa Sertifikat Tahun 1961-1997 Harus Diubah ke Elektronik?
Ada banyak alasan mengapa pemilik tanah dianjurkan untuk mengubah sertifikatnya menjadi elektronik. Sertifikat kertas sangat rentan terhadap kerusakan, kehilangan, dan pemalsuan. Dengan sistem digital, dokumen disimpan secara terenkripsi dalam basis data resmi BPN. Risiko kerusakan fisik nyaris nol.

Sertifikat elektronik juga membantu menekan angka sengketa tanah yang sering terjadi karena tumpang tindih kepemilikan atau pemalsuan dokumen. Khususnya sertifikat tahun 1961-1997 karena ketiadaan peta bidang tanah pada dokumen sertifikat-sertifikat tersebut.

Dilansir detikProperti, sertifikat yang terbit pada periode 1961-1997 banyak yang belum memiliki peta bidang. Peta bidang sendiri adalah bagian penting dalam sertifikat karena berfungsi sebagai data spasial atau gambaran visual letak dan batas tanah secara akurat. Tanpa peta ini, sertifikat hanya berupa dokumen administratif yang lemah secara teknis, terutama dalam konteks hukum dan pelayanan publik yang berbasis digital.

Ketiadaan peta juga menyulitkan proses validasi lokasi tanah, memperbesar risiko tumpang tindih lahan, dan memperlambat proses layanan seperti jual beli, waris, atau bahkan pendaftaran tanah untuk keperluan pembangunan. Dalam sistem elektronik, keberadaan peta bidang menjadi keharusan untuk memastikan keterpaduan data spasial dan administratif.

Dengan mengubah sertifikat ke bentuk elektronik, maka secara otomatis sertifikat lama akan diperbarui dan dilengkapi dengan peta bidang terbaru yang disusun berdasarkan survei dan pengukuran ulang oleh petugas pertanahan. Langkah ini membuat data tanah menjadi lebih akurat, aman, dan siap masuk ke sistem pertanahan modern nasional.

Risiko Jika Sertifikat Tanah Tidak Diubah Jadi Elektronik

Pemerintah, melalui Kementerian ATR/BPN, secara aktif mendorong pemilik tanah, khususnya yang memiliki sertifikat terbit antara tahun 1961 hingga 1997 untuk segera melakukan konversi ke sertifikat elektronik. Langkah ini bukan hanya imbauan semata, melainkan bentuk antisipasi terhadap berbagai risiko yang mungkin timbul di masa depan jika sertifikat lama tetap dibiarkan dalam bentuk fisik.

Apa saja risiko jika tidak segera melakukan digitalisasi?

1. Rentan Hilang dan Rusak

Banyak kasus sertifikat tanah hilang karena bencana seperti kebakaran, banjir, atau sekadar kelalaian penyimpanan. Sertifikat yang diterbitkan sebelum tahun 2000 umumnya sudah usang secara fisik. Bila hilang atau rusak, proses penggantian bisa memakan waktu dan harus melalui pembuktian yang tidak mudah, apalagi jika salinan tidak lengkap.

2. Sulit Dilacak dalam Sistem Modern

Sertifikat lama yang belum digital tidak terintegrasi dalam sistem pertanahan nasional. Hal ini menyulitkan jika suatu hari masyarakat ingin melakukan transaksi jual beli, pengajuan kredit, atau mengurus warisan. Proses pengecekan keabsahan dan histori sertifikat juga menjadi lebih lambat.

3. Berisiko Tersangkut Sengketa atau Pemalsuan

Banyak mafia tanah yang masih memanfaatkan celah dari sertifikat fisik yang belum digital. Dokumen bisa dipalsukan, digandakan, atau dialihkan tanpa sepengetahuan pemilik. Dengan sistem elektronik, setiap sertifikat memiliki identitas tunggal dan terverifikasi, sehingga lebih sulit disalahgunakan.

4. Tidak Bisa Menikmati Layanan Digital BPN

Kementerian ATR/BPN telah meluncurkan berbagai layanan digital seperti aplikasi Sentuh Tanahku yang mempermudah pemilik dalam mengecek status tanah secara online. Namun, layanan ini hanya dapat dinikmati oleh mereka yang sudah mengubah sertifikatnya menjadi elektronik.

5. Terhambatnya Rencana Nasional Satu Peta

Pemerintah sedang membangun sistem pertanahan nasional terintegrasi berbasis digital, yang dikenal dengan program Peta Lengkap atau One Map Policy. Pemilik sertifikat yang belum melakukan konversi akan tertinggal dalam program ini dan berpotensi terkena dampak hukum atau administratif ke depannya.

Langkah Mengubah Sertifikat Tanah Menjadi Elektronik

Berdasarkan informasi dari Kementerian ATR/BPN yang dilansir melalui detikProperti, sertifikat tanah kini bisa dikonversi ke bentuk elektronik dan diakses lewat aplikasi resmi bernama Sentuh Tanahku. Agar bisa menggunakan layanan ini, pemilik tanah harus memiliki akun yang akan dibantu proses pendaftarannya oleh petugas Kantor Pertanahan setempat.

Berikut ini tahapan dan syarat mengubah sertifikat fisik menjadi Sertifikat Elektronik (Sertipikat-el):

1. Datang ke Kantor Pertanahan

Pemohon wajib mengunjungi Kantor Pertanahan yang sesuai dengan lokasi bidang tanah yang ingin dikonversi.

2. Siapkan Dokumen Persyaratan

Beberapa dokumen penting yang perlu disiapkan antara lain:

  • Sertifikat tanah asli (analog/fisik)
  • Formulir permohonan yang sudah diisi lengkap dan ditandatangani di atas materai
  • Surat kuasa jika permohonan diwakilkan
  • Fotokopi KTP dan KK pemohon maupun penerima kuasa (jika ada)
  • Untuk badan hukum: fotokopi akta pendirian dan legalitas lain yang telah dicocokkan oleh petugas loket

3. Membayar Biaya Administrasi

Pemohon dikenakan biaya penggantian blanko sebesar Rp 50.000 per sertifikat, sesuai dengan PP Nomor 128 Tahun 2015 tentang tarif PNBP di lingkungan Kementerian ATR/BPN.

4. Proses Verifikasi dan Konversi

Setelah dokumen dinyatakan lengkap, petugas akan memproses permohonan. Sertifikat elektronik yang diterbitkan nantinya memiliki QR Code yang bisa dipindai melalui aplikasi Sentuh Tanahku untuk memastikan keaslian dokumen.

5. Penyerahan Sertifikat Lama

Sertifikat fisik lama akan ditarik dan disimpan oleh kantor pertanahan sebagai arsip resmi atau warkah pendaftaran tanah.

Untuk memverifikasi keaslian Sertifikat Tanah Elektronik (Sertipikat-el), pemilik dapat memindai kode QR yang tercantum pada dokumen digital tersebut menggunakan aplikasi resmi Sentuh Tanahku. Sementara itu, dokumen sertifikat tanah versi lama akan diserahkan kembali kepada Kantor Pertanahan untuk diarsipkan sebagai bagian dari dokumen resmi pendaftaran tanah atau warkah.




(des/des)
Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Hide Ads