Setiap kali langit mulai gelap dan hujan mengguyur Samarinda selama berjam-jam, rasa cemas muncul di benak banyak warganya. Sebab, banjir bukan hal baru di kota ini, bukan pula sesuatu yang hanya terjadi sesekali.
Samarinda telah lama akrab dengan genangan air yang naik hingga pinggang, bahkan atap rumah, dan jalan-jalan yang berubah menjadi sungai. Salah satu banjir besar yang masih dikenang warga adalah yang terjadi pada tahun 1998.
Saat itu, Waduk Benanga jebol akibat curah hujan ekstrem. Air meluap deras membanjiri pusat kota hingga bandara, rumah sakit, bahkan kampus Universitas Mulawarman pun lumpuh. Ribuan orang terdampak, dan kerugiannya tak main-main.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Tahun-tahun berikutnya, banjir masih terus terjadi. Pada 2018, dalam kurun enam jam hujan mengguyur deras dan mengakibatkan lebih dari 5.500 rumah terendam. Sekitar 10.000 jiwa terpaksa mengungsi.
Wilayah seperti Loa Bakung dan Samarinda Seberang menjadi langganan air setinggi dada orang dewasa. Tahun 2019, situasi tak jauh berbeda. Genangan kembali menutup jalan protokol dan merusak rumah-rumah warga.
Kini, di tahun 2025, kisah itu kembali terulang. Tepat pada 12 Mei 2025, banjir besar kembali melanda Samarinda. Hujan turun lebat sejak dini hari dan dalam waktu singkat, sebagian besar wilayah kota tergenang.
Beberapa titik bahkan mengalami arus deras, menimbulkan korban jiwa dan kerugian yang belum seluruhnya terdata. Tim SAR dikerahkan untuk menyelamatkan warga, termasuk seorang balita yang terseret arus, dan satu keluarga yang tertimbun tanah longsor.
![]() |
Penyebab Banjir di Samarinda
Banjir di Samarinda terjadi bukan semata karena hujan. Musibah ini merupakan akibat dari pertemuan faktor alam dan kelalaian manusia dalam menjaga lingkungan. Berikut detikKalimantan rangkum dari berbagai sumber tentang berbagai faktor penyebab banjir di Samarinda.
1. Curah Hujan dan Topografi
Samarinda merupakan kota yang rawan banjir karena kombinasi antara curah hujan tinggi dan kondisi topografi yang tidak mendukung aliran air. Rata-rata curah hujan tahunan di kota ini mencapai 1.900-2.300 mm, dengan hujan lebat yang kerap turun dalam waktu singkat, terutama saat musim hujan atau dipengaruhi fenomena iklim seperti La Nina. Curah hujan ekstrem ini kerap melebihi kapasitas sistem drainase yang ada, sehingga menyebabkan genangan meluas dengan cepat.
Di sisi lain, topografi Samarinda yang berupa dataran rendah dan cekungan alami, dikelilingi perbukitan dan berada di hilir Daerah Aliran Sungai (DAS) Mahakam, membuat air mudah masuk namun sulit keluar. Saat hujan turun bersamaan di wilayah hulu dan hilir, dan Sungai Mahakam dalam kondisi pasang, air pun meluap dan membanjiri pemukiman.
Ditambah dengan saluran air yang tersumbat dan sedimentasi sungai akibat aktivitas manusia, faktor curah hujan dan topografi ini menjadi penyebab utama banjir yang terus berulang di Samarinda.
2. Alih Fungsi Lahan
Alih fungsi lahan juga menjadi salah satu penyebab utama banjir di Samarinda yang saling berkaitan dengan curah hujan dan topografi. Seiring pertumbuhan penduduk dan pembangunan kota, banyak lahan hijau yang dulunya berfungsi sebagai daerah resapan air kini berubah menjadi kawasan permukiman, industri, dan infrastruktur.
Hilangnya vegetasi alami menyebabkan air hujan tidak lagi meresap ke dalam tanah, melainkan langsung mengalir ke permukaan dan mempercepat limpasan air ke sungai dan drainase kota. Ironisnya, banyak dari pembangunan ini tidak disertai perencanaan tata ruang yang memperhatikan kapasitas ekosistem lokal, sehingga memperparah potensi banjir saat hujan lebat turun.
Selain itu, alih fungsi hutan di wilayah hulu, khususnya di sepanjang Daerah Aliran Sungai Mahakam, juga berdampak langsung pada sedimentasi sungai. Tanpa akar pohon yang menahan tanah, erosi meningkat dan mengendap di sungai, menyebabkan pendangkalan dan menyempitnya aliran air.
Dengan kata lain, alih fungsi lahan bukan hanya menghilangkan daya serap tanah, tetapi juga menurunkan daya tampung dan efisiensi sistem aliran air di Samarinda.
3. Drainase Buruk dan Pengelolaan Sampah
Drainase buruk dan sampah juga memainkan peran besar dalam memperparah banjir di Samarinda. Banyak saluran drainase di kota ini dibangun dengan kapasitas terbatas dan tanpa perawatan rutin, sehingga cepat mengalami penyumbatan. Di sejumlah wilayah padat penduduk, saluran air bahkan tidak memadai atau tertutup oleh bangunan liar. Akibatnya, saat hujan deras turun, air tidak bisa mengalir dengan lancar ke sungai atau sistem pembuangan, dan akhirnya meluber ke jalan serta rumah warga.
Masalah ini diperparah oleh kebiasaan membuang sampah sembarangan. Sampah rumah tangga, plastik, dan limbah pasar kerap memenuhi parit dan gorong-gorong. Dalam banyak kasus, tumpukan sampah membentuk bendungan buatan yang menghambat aliran air secara drastis.
Jadi, buruknya sistem drainase dan pengelolaan sampah yang tidak tertib menjadi kombinasi berbahaya yang mempercepat terjadinya banjir, meskipun hujan tidak terlalu ekstrem.
4. Aktivitas Pertambangan
Aktivitas pertambangan, khususnya pertambangan batu bara, tak luput menjadi salah satu penyumbang signifikan terhadap meningkatnya risiko banjir di Samarinda. Kota ini dikelilingi oleh banyak konsesi tambang, bahkan beberapa berada sangat dekat dengan kawasan permukiman. Proses tambang terbuka menyebabkan hilangnya tutupan vegetasi, yang sebelumnya berperan penting dalam menyerap air hujan dan menahan tanah agar tidak tererosi.
Tanah bekas tambang yang gundul dan terganggu strukturnya membuat air hujan tidak bisa diserap secara optimal. Sebaliknya, air langsung mengalir ke sungai-sungai kecil dan besar di sekitarnya dan membawa serta lumpur dan sedimen. Dalam jangka panjang, sedimen dari tambang ini menyebabkan pendangkalan sungai, terutama Sungai Karang Mumus dan Mahakam, dua sungai utama di Samarinda. Pendangkalan tersebut mengurangi kapasitas tampung sungai, sehingga lebih mudah meluap saat hujan deras.
Di sisi lain, banyak lubang tambang yang dibiarkan menganga dan berubah menjadi kolam raksasa. Ketika hujan ekstrem turun, air dari lubang-lubang tersebut bisa meluap dan mengalir ke daerah sekitarnya, menambah volume air yang membanjiri kota. Menurut data dari WALHI dan sejumlah kajian ilmiah lokal, daerah-daerah dengan intensitas tambang tinggi juga menunjukkan korelasi kuat dengan titik-titik banjir terparah di Samarinda.
Secara keseluruhan, pertambangan yang tidak diikuti dengan rehabilitasi lahan dan pengawasan ketat telah memberikan dampak jangka panjang terhadap sistem hidrologi kota, sehingga banjir bukan hanya bencana alam, tapi juga bencana ekologis buatan manusia.
Itulah beberapa penyebab banjir di Samarinda. Detikers, banjir bukanlah masalah sepele yang bisa ditangani dalam satu malam. Mari bersama-sama menjaga bumi dan lingkungan kita untuk masa depan yang lebih baik.
(sun/des)