Stunting masih menjadi tantangan besar di Indonesia. Begitu juga di Kota Tarakan, Kalimantan Utara.
Analis GSI (Gizi dan Stunting Intervensi) di Dinas Kesehatan Kota Tarakan, Armina SGS mengungkapkan berbagai faktor penyebab stunting. Ia juga menyampaikan upaya yang telah dilakukan pemerintah untuk menekan angka stunting, khususnya menjelang visi Indonesia Emas 2045.
Menurut Armina, stunting bukan hanya soal kekurangan asupan gizi, tetapi juga dipengaruhi oleh faktor lingkungan dan kebiasaan masyarakat.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Penyebab stunting itu ada dua, langsung dan tidak langsung. Intervensi spesifik berkaitan langsung dengan kesehatan, seperti asupan gizi. Sedangkan intervensi sensitif, yang tidak langsung, melibatkan faktor seperti sanitasi, air bersih, dan lingkungan," jelas Armina kepada detikKalimantan, Selasa (22/4/2025).
Rokok Jadi Penyebab Utama Stunting
Berdasarkan survei yang dilakukan Dinas Kesehatan Tarakan, salah satu faktor penyebab utama stunting adalah paparan asap rokok di dalam rumah.
"Kami menemukan banyak keluarga dengan balita stunting yang anggota keluarganya merokok di dalam rumah. Padahal, seharusnya merokok dilakukan di luar rumah agar anak tidak terpapar asap," ungkap Armina.
Ia menyebut data survei menunjukkan sekitar 70% penyebab stunting berasal dari faktor sensitif seperti itu. Termasuk air yang kurang bersih, sanitasi buruk, dan infeksi berulang. Daerah pinggiran pantai, seperti Sungai Pantai, Pantai Amal, dan Lontak Laut menjadi wilayah dengan angka stunting tertinggi di Tarakan.
"Pada rembuk stunting 2024, kami menetapkan Lontak Laut, Sungai Pantai, dan Pantai Amal sebagai lokus stunting untuk 2025 karena persentase stunting di sana masih tinggi," kata Armina.
Ciri-Ciri Stunting dan Dampaknya
Stunting didefinisikan sebagai gangguan pertumbuhan dan perkembangan akibat kekurangan gizi kronis atau infeksi berulang. "Screening awal dilakukan dengan mengukur tinggi badan sesuai umur. Jika di bawah standar WHO, yakni minus 2 standar deviasi, anak dikategorikan stunting," jelas Armina.
Ia menegaskan stunting tidak hanya soal fisik, tetapi juga perkembangan otak, yang sulit dinilai tanpa screening awal. Dampak stunting sangat signifikan terhadap visi Indonesia Emas 2045.
"Bagaimana anak bisa bersaing jika perkembangan otaknya terhambat? Periode emas perkembangan otak adalah 0-23 bulan. Setelah usia 2 tahun, hanya 20% potensi otak yang bisa dikembangkan," tegas Armina.
Stunting berbeda dengan gizi buruk. Anak stunting mungkin terlihat sehat dan aktif, tetapi perkembangan kognitifnya terganggu, yang dapat menurunkan produktivitas di masa depan.
Upaya Penanganan Stunting
Pemerintah Kota Tarakan telah melakukan berbagai upaya untuk mencegah dan menangani stunting, mulai dari hulu hingga hilir. Untuk remaja putri, program pemberian tablet tambah darah (TTD) dilakukan setiap minggu, disertai aksi bergizi seperti sarapan bersama dan edukasi.
"Kami juga memeriksa kadar hemoglobin (HB) siswi kelas 7 dan 10 untuk mendeteksi anemia, yang bisa berdampak pada kehamilan di masa depan," ujar Armina.
Bagi calon pengantin, Dinas Kesehatan menerapkan pemeriksaan kesehatan pra-nikah, termasuk triple eliminasi dan edukasi tentang stunting. Untuk ibu hamil, fasilitas USG gratis tersedia di semua Puskesmas, kelas ibu hamil digelar, dan tablet tambah darah diberikan secara rutin.
"Kami juga memastikan antropometri di posyandu terstandar dan memberikan vitamin A serta pemeriksaan kognitif untuk bayi," tambahnya.
Tantangan dan Harapan
Meski berbagai program telah dijalankan, tantangan utama adalah menjangkau daerah pinggiran, khususnya wilayah pesisir yang rentan stunting. "Kami terus berupaya, tapi faktor lingkungan seperti air bersih dan sanitasi masih menjadi kendala," ungkap Armina.
Menjelang Indonesia Emas 2045, Armina menekankan pentingnya menciptakan generasi emas yang sehat dan kompetitif. "Stunting bukan hanya soal tinggi badan, tetapi masa depan anak. Kami harus bekerja sama, dari pemerintah hingga masyarakat, untuk memastikan anak-anak kita bebas stunting," tutupnya.
(sun/des)