Kisah Polisi Perbatasan dan 'Jalan Menuju Kematian'

Kisah Polisi Perbatasan dan 'Jalan Menuju Kematian'

Oktavian Balang - detikKalimantan
Jumat, 11 Apr 2025 13:30 WIB
Di tengah hutan belantara Krayan, Nunukan, Kalimantan Utara, Bripka Hengki menjalani tugasnya dengan penuh dedikasi. Wilayah tersebut kerap disebut β€˜Nusa Kambangan 2’ karena keterisolirannya.
Foto: Oktavian Balang/detikKalimantan
Nunukan -

Di tengah hutan belantara Krayan, Nunukan, Kalimantan Utara, Bripka Hengki menjalani tugasnya dengan penuh dedikasi. Wilayah tersebut kerap disebut 'Nusa Kambangan 2' karena keterisolirannya.

Wilayah tersebut dikelilingi hutan lebat dan jauh dari kata layak untuk diakses. Jalanan rusak, longsor, dan lumpur menjadi bagian dari keseharian Bhabinkamtibmas Polsek Krayan Induk itu, yang telah mengabdi sejak 2011.

"Jalanan di sini sangat memprihatinkan. Antara Longrian dan Paumung sudah longsor di dua titik. Mobil sama sekali nggak bisa lewat, paling hanya motor dengan jalan kayu yang dibuat warga," ungkap Hengki saat ditemui detikKalimantan, Jumat (11/4/2025).

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Hengki kini bertugas membina 8-10 desa di wilayah Krayan Timur, termasuk Desa Sinarbaru. Jarak antardesa, seperti dari Krayan Induk ke Krayan Timur hanya 4-5 kilometer. Namun medan ekstrem membuat perjalanan terasa seperti petualangan tanpa akhir.

"Ke Desa Wayagung lebih ekstrem lagi. Lumpur, lubang, dan risiko besar selalu mengintai," kata Hengki.

Jadi Polisi Perbatasan karena Panggilan Jiwa

Menjadi polisi perbatasan bukan sekadar tugas, tetapi panggilan jiwa bagi Hengki. Ia pernah menangis dalam hati, bukan karena lelah fisik, melainkan keprihatinan melihat kondisi warganya.

"Kita menangis memikirkan, Indonesia sudah berapa tahun merdeka, tapi di sini belum merasakan kemerdekaan itu seperti apa. Masalah jalan saja," ujarnya dengan nada getir.

Medan berat tak jarang membuat Hengki dan tim terjebak. Ia mengenang pengalaman mengawal tim dari Krayan yang membuat tamu dari Jakarta pun menangis karena kondisi jalan.

"Secara manusia, kita nggak sanggup. Tapi kita harus tetap jalan, karena desa-desa ini harus dijangkau," tuturnya.

Tantangan lain yang dihadapi Hengki adalah ketiadaan kendaraan operasional yang memadai. Motor dinas yang pernah ada, seperti Versa, sudah tak layak untuk medan Krayan.

"Sampai sekarang motor dinas nggak ada. Kita modifikasi motor sendiri, cicil dari gaji," ungkapnya.

Biaya operasional pun tak murah. Untuk mengunjungi satu desa dalam sehari, Hengki mengeluarkan minimal Rp 250 ribu untuk bahan bakar, yang harganya mahal di wilayah terpencil itu.

Belum lagi biaya perawatan motor dan kebutuhan lain seperti membawa buah tangan untuk warga, mulai dari gula, roti, hingga obat-obatan.

"Anggaran dinas cuma Rp 1 juta lebih sebulan. Itu nggak cukup untuk operasional, apalagi bawa bantuan ke warga," keluhnya.

Hengki mulai berdinas di Krayan Selatan pada 2011. Saat itu, akses jalan belum ada. Ia pernah berjalan kaki selama 14 jam dari Krayan Induk ke Krayan Selatan, membawa beras dan perlengkapan masak.

"Kita berburu di hutan untuk makan. Risiko hewan buas ada, tapi sebagai orang Dayak, kita sudah biasa," kenangnya.

'Jalan Menuju Kematian'

Kini, meski ada jalan lingkar, kondisinya masih jauh dari layak. "Jalan ini sebenarnya jalan menuju kematian. Daripada subsidi pesawat, kenapa pemerintah nggak alokasikan anggaran untuk bangun jalan yang layak?" kritiknya.

Di tengah keterbatasan, Hengki tetap setia menjalankan tugasnya. Ia bahkan pernah bergegas ke desa saat malam hujan demi menangani kejadian darurat, meski akhirnya harus menunda karena keselamatan.

"Kita utamakan koordinasi dengan aparat desa dulu. Medan berat, nggak mungkin tembus satu-dua jam," jelasnya.

Soal 'Garuda di Dada dan Perut di Malaysia'

Ketika ditanya soal warga Krayan yang kerap mengambil kebutuhan pokok dari Malaysia karena keterbatasan akses, Hengki menegaskan loyalitas mereka pada Indonesia.

"Perut mungkin di Malaysia, tapi dada kita tetap Garuda. Warga di sini setia sama NKRI," tegasnya.

Ia juga menyayangkan oknum yang menyalahgunakan subsidi pemerintah, yang seharusnya untuk warga. Meski harus merogoh kocek pribadi dan menghadapi tekanan berat, Hengki tak pernah berpikir mundur.

"Kalau bukan kita, siapa lagi yang menolong? Walaupun nggak bisa bantu 100 persen, setidaknya kita bisa bantu sedikit. Itu yang buat kita bertahan," ujarnya penuh keyakinan.

Sebagai penutup, Hengki berpesan kepada masyarakat dan rekan polisi. "Pekerjaan polisi itu mulia, tapi tergantung cara kita menjalankannya. Jadilah orang yang berguna bagi orang lain. Jangan pikir kita yang paling menderita, karena masih ada yang lebih sengsara," tuturnya bijak.




(sun/des)
Hide Ads